Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Beda Kaya Harta dan Kaya Hati - Samsudin Adlawi

Beda Kaya Harta dan Kaya Hati - Samsudin Adlawi

oleh Samsudin Adlawi
Samsudin Adlawi - kawaca.com


INI tentang reuni. Antardua saudara. Sudah sekian Lebaran mereka tidak pernah bertemu. Tepatnya sejak lahir dari perut ibunya: Bank Indonesia (BI). 

Mereka dilahirkan dalam perbedaan. Yang satu warna kulitnnya cenderung keabu-abuan. Sementara satunya kemerah-merahan. Yang abu-abu bernama Dua Ribu Rupiah. Biasa dipanggil dengan Dua Ribu atau Rong Ewu atawa Duebu. Dalam penulisan dia diukir dengan nomerik Rp 2000.  Si kulit mereka biasa disapa Seratus Ribu Rupiah. Biasa ditulis dengan Rp 100.000. Dua 

Ribu punya nol tiga. Sedangkan Seratus Ribu menggendong lima nol. Tidak hanya berbeda dalam warna, penyebutan, dan penulisan. Tapi nasib mereka juga sangat kontras. Bahkan, beda nasib mereka bak langit dan sumur. 

Kemarin mereka secara tidak sengaja bertemu di salah satu bank. Dalam loker meja kasir. Tempat itu agak luas sehingga mereka leluasa mengobrol. Beda dengan dompet orang --tempat mereka sering bertemu selama ini. Sempit dan sumpek. Jangankan untuk bertegur sapa, untuk bernafas saja sulitnya minta ampun. Apalagi bila pantat si pemilik dompet setebal Gunung Raung.

‘’Dari mana saja kamu selama ini,’’ sapa Seratus Ribu kepada saudaranya, ‘’aku rindu sekali sama kamu.’’
‘’Aku keliling. Berpindah-pindah. Dari dompet satu orang pindah lagi ke dompet yang lain,’’ jawab Dua Ribu.
‘’Kenapa wajah dan tubuhmu tampak kucel. Tak terawat begitu,’’ tanya Seratus Ribu lagi.
‘’Ceritanya panjang,’’ kata Dua Ribu singkat.

Seratus Ribu kaget mendengar jawaban saudaranya yang pendek. Penuh beban. Apalagi diucapkan tanpa gairah. Sejenak dia tercekat. Setelah ditunggu agak lama, setelah menghela nafas panjang, akhirnya Dua Ribu menguatkan diri untuk melanjutkan kisah petualangannya.

Saat pergi dari ibu BI, kenang Dua Ribu, dia sempat mampir ke kotak uang kasir sebuah mal. Ruangnya ber-AC. Dingin sekali. Tapi, malang nasibnya. Dia dipakai kembalian. Untuk nyusuki. Kebetulan saat itu ada seorang pedagang cabai sedang belanja. Habis panen besar. Langsung memborong seisi mal. Karena si pembeli minta uang recehan banyak, maka Dua Ribu dipakai untuk kembalian. Tak lama berselang, dia sudah berpindah tangan. Kini menjadi penghuni dompet si pedagang cabai. Dikumpulkan bersama saudara-saudaranya yang lain. Selain Dua Ribu, di dompet itu juga banyak Seribu Rupiah, Lima Ribu Rupiah yang memenuhi dompet kucel penjual cabai. Bau dompet itu bukan main. So so Uaaaapek. 

Singkat cerita. Seperi biasa si pedagang cabai pagi-pagi sekali sudah membuka lapaknya di pasar. Ada penjual ikan laut datang dan membeli lombok. Dia menjulurkan uang Rp 10.000. Karena belanjanya habis Rp 8.000, maka si Dua Ribu dipakai untuk susuk. Dia girang. 

‘’Wah, nasibku bakal lebih baik nih. Pasti tidak akan panas lagi. Mata dan badanku tidak akan kepedesen seperti dalam dompet tuanku sebelumnya,’’ harapnya dalam hati.
Seperti mimpi, harapan juga tidak selamanya sesuai dengan kenyataan. Nasib Dua Ribu tidak lebih baik di tangan penjual ikan laut. Malah jauh lebih buruk. Kalau di tangan pedagang cabai dia masih bisa tidur nyenyak di dalam dompet, di tuan barunya itu dia hanya ditaruh dalam besek. Kotak kecil tanpa penutup. Bercampur semat dan kresek. Letaknya di bawah papan untuk display ikan. Sesekali air ikan di atasnya berjatuhan ke bawah. Menimpa tubuh Dua Ribu. Amisnya bukan kepalang. Perut Dua Ribu langsung mual-mual. Rasanya mau muntah. Dia sudah berusaha menutup hidungnya dengan telapak tangan. Tetap saja, bau amis terus menyengat. Apalagi saat penjual ikan meremas-remas tubuh Dua Ribu. Padahal, dia baru saja memegang dan membersihkan sisik dan jeroan ikan.

Karena sudah tidak tahan, dalam hati dia berdoa: mudah-mudahan segera mendapatkan juragan baru. Ternyata Doanya terkabul. Akhirnya dia berpindah tangan kepada seorang guru ngaji yang baru saja membeli ikan. Selama ikut guru ngaji dia bisa ikut salat berjamaah di beberapa masjid. Sampai akhirnya, oleh si guru ngaji dia dicemplungkan dalam kotak amal sebuah masjid. Alhamdulillah....

‘’Oh seperti itu yang kamu alami selama ini. Pantas saja wajah dan tubuhmu kumal,’’ timpal Seratus Ribu.

Yang dikomentari tidak segera menanggapi. Dia hanya menganggukkan kepala pelan. Nyaris tanpa tenaga. Tiba-tiba dia menengadahkan kepalanya. Kaget oleh pernyataan Seratus Ribu.

‘’Nasibmu masih lebih baik dariku. Bisa jalan-jalan ke mana-mana. Sedangkan aku seperti anak pingit,’’ papar Seratus Ribu.

Dengan suara serak dan lirih, dia melanjutkkan pengalamannya: sejak pisah dari ibu BI aku diasuh oleh orang kaya. Tapi itu tidak lama. Sebab, aku langsung disekap dalam bank. Setelah sekian lama dalam sekapan bank, aku diambil lagi sama orang kaya itu. Tapi tetap saja. Keadaanku tidak berubah. Hanya menjadi penghuni dompet. Di bawa ke mana-mana. Orang kaya itu lebih memilih membayar pakai kartu kredit dan mobil banking. Dompetnya memang wangi. Maklum orang kaya. Tapi tak ada artinya setiap hari menghirup bau wang tapi tidak memiliki kebebasan.

 ‘’Apalagi punya kesempatan ikut salat berjamaah seperti yang kamu alami. Masuk kotak amal lagi. Kamu benar-benar beruntng saudaraku,‘’ kata Seratus Ribu sambil menepuk bahu Dua Ribu.

Memang, ada orang kaya yang baik hati. Dermawan. Ringan tangan. Suka membantu. Tapi orang kaya yang pelit bin medit jauh lebih banyak. Logikanya cukup sederhana. Andai banyak orang kaya yang gemar bersedekah, pasti tidak ada orang yang hidup miskin. Kalau pun ada, mereka akan berada di ambang garis kemiskinan. Bukan di bawah garis kemiskinan.

Sayang sekali. Banyak orang tidak kuat diuji dengan kekayaan. Mereka mengira harta melimpah yang dimilikinya hanya untuk dirinya. Hasil kerja kerasnya. Padahal, sesungguhnya di dalam harta kekayaan itu ada hak orang yang membutuhkan: fakir, miskin, yatim, dan piatu. Hak hidup mereka berada dalam lembaran uang dan tumpukan kekayaan kita. Alangkah naifnya jika selilit itu tidak dikeluarkan. Namanya selilit kalau tidak dikeluarkan bisa jadi biang penyakit. Dan, betapa banyak orang kaya yang menderita penyakit aneh gara-gara selilit seperti itu.

Seorang sahabat bercerita tentang orang kaya yang dia kenal. Saking kayanya, beberapa kalkurator sampai error saat digunakan menghitung kekayaannya. Ha ha ha.... 
Mobil orang kaya itu tak terhitung. Setiap ada mobil keluaran baru langsung dia beli. Sudah begitu mobil baru itu keluaran merek-merek terkenal. Seperti Mercy, Ferrari, Renault, dll. Harganya tidak ada yang ber-tus-tus juta. Semua di atas miliaran rupiah.

Tapi apa yang terjadi. Orang kaya itu saat pergi keluar rumah hanya naik Toyota Kijang. Sudah begitu keluaran lama lagi. Mobil-mobil mewahnya hanya sesekali dinaiki. Hanya jadi hiasan garasinya. Sudah begitu saat keluar rumah dia mengenakan pakaian lusuh. Kancingnya tidak terpasang sempurna. Lalu untuk apa beli mobil mewah kalau hanya untuk memenuhi garasi. Bisa jadi, mobil mewah itu boros bahan bakar sehingga dia memilih pakai Kijang. Lebih irit. Ah, masak iyaa. Banyak duitnya kok pelit. Fakta bicara: orang kaya memang cenderung pelit. Perhitungan sekali. Apalagi kalau untuk berbagi. Mikirnya sampai seribu kali. Kalau saya bantu orang miskin, apa yang bisa diberikan orang miskin kepada saya. Begitu kira-kira jalan pikirannya. Naudzubillah win dzalik

Kebiasaan orang kaya lainnya: membeli rumah dan tanah. Rumahnya tersebar di mana-mana. Di berbagai daerah. Rumah itu dibiarkan tak berpenghuni. Kecuali saat dia sedang ngelencer ke kota tempat rumah itu berada. Ia berprinsip, makin banyak koleksi rumah dan makin banyak tanah prestise-nya akan naik. Status sosialnya ikut naik. Orang waras bertanya: buat apa punya banyak rumah kalau tak untuk ditempati. Malah memberi kesempatan jin membangun istana di rumah kosong itu. 

Wa ba’du. Kebahagiaan tidak selalu diperoleh karena harta melimpah. Kalau harta membuat bahagia itu hanyalah kebahagiaan semu. Menipu. Kebiasaan berbagi kepada sesama jauh membahagiakan. Itulah kebahagiaan sejati. Sebab, ukuran kekayaan yang sebenarnya adalah seberapa banyak apa yang kita miliki untuk kita bagikan kepada yang berhak. Bukan seberapa banyak harta yang kita tumpuk. Penjual es cendol yang menyisihkan sebagian hasil jualannya untuk berbagi masih lebih kaya daripada orang banyak harta tapi tidak pernah berbagi. Berbagi itu indah. Mari berlomba-lomba merengkuhnya.***

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.