Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Cara Menjinakkan Petir - Indra Intisa

Cara Menjinakkan Petir - Indra Intisa

(Apresiasi Puisi: Dialog Dengan Petir, Karya: Iwan Dartha) kawaca.com

(Apresiasi Puisi: Dialog Dengan Petir, Karya: Iwan Dartha)
Oleh Indra Intisa

Konon, ada sebuah cerita di beberapa masyarakat bagian barat Sumatera yang mengatakan bahwa: petir adalah senjatanya Tuhan untuk menembak setan. Setan yang bersembunyi di balik-balik pohon, puncak bukit atau di mana saja ia bersemayam. Dulu, saat kecil, ketika saya cemas dengan suara petir, warna merah kilat, dan sambaran halilintar, saya sering bilang kepada ibu, “Ibu. Saya takut dengan petir. Kenapa petir-petir itu menembak pohon?” Waktu itu ibu menjawab dengan serius, “Anakku. Yang ditembak bukanlah pohon. Tetapi sesungguhnya adalah setan.”

Mitos petir menembak setan tentu saja bukan sebuah cerita yang sebenarnya. Bisa saja itu hanya sebuah dongeng yang diturunkan dari tetua dahulu kepada anak-anaknya untuk tetap berbaiksangka terhadap gejolak alam yang sesungguhnya kita anggap itu musibah. Atau bisa juga cerita itu muncul sebagai penenang hati anak-anak supaya tidak gelisah dan cemas. Tentu ada hikmah di sebalik musibah? Ya, tentu saja. Atau setidaknya itu adalah sebuah usaha dari manusia untuk menangkap maksud-maksud yang dikirimkan oleh alam yang belum tertangkap oleh otak dan pikiran manusia pada saat itu.

Kecemasan-kecemasan manusia terhadap alam, tentu saja adalah sebuah hal yang lumrah. Asal kecemasan itu masih bisa ditangkal dan sikap postif dan belajar mengambil hikmah dari situasi tersebut. Maka sebab itulah, banyak ahli filosofis bermenung untuk melihat dalam-dalam apa yang terjadi pada alam, tentunya ada sesuatu yang bisa ditangkap dan diterjemahkan dengan bahas logis. Di zaman modern, kejadian-kejadian yang terjadi pada alam, anggap saja seperti petir, hujan, gempa, gunung meletus, dsb., sudah bisa disimak dan ditelaah dengan baik melalui ilmu pengetahuan. Tetapi, sehebat-hebatnya teori saat ini, tetap saja tidak bisa menangkal apa-apa yang ada dalam diri manusia, seperti ketakutan, kecemasan, dsb., yang mungkin terjadi pada alam.
Agama islam, melalui Al-quran telah menegaskan manusia untuk selalu takut dan memohon hanya kepada-Nya, Allah. Tetapi, manusia sering takut pada kejadian-kejadian yang terjadi di luar kemampuan mereka, tentu saja atas godaan setan supaya manusia lepas dari iman—hanya takut kepada Allah. Seperti firman Allah Swt., berikut ini:

“Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, Karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.”(QS. Al-Baqarah : 19)

Ketakutan-ketakutan manusia terhadap kejadian alam, khususnya petir tentu sudah membumi di banyak manusia. Kita bisa dengan mudah mendapati orang yang bersumpah, “Berani disambar gledek kalau saya bohong.” Berbeda dengan itu, jauh di Barat sana, Yunani menganggap petir dikuasai oleh dewa perang Mars. Menurut kepercayaan primitif, petir diartikan sebagai dewa langit yang sedang murka. Kita tidak perlu menelaah ini lebih dalam. Kembali ke diri kita sendiri, apa sesungguhnya yang kita cemaskan dari hidup?

Salah seorang penyair produktif, Iwan Dartha. Penyair yang saya kenal melalui dinding-dinding Facebook ini, adalah salah seorang penyair yang peduli terhadap kecemasan-kecamasan manusia terhadap alam. Terlihat dari sebuah puisinya yang mengambil tema “petir” sebagai isi utama dari puisinya. Seperti berikut ini:

Dialog Dengan Petir
Karya: Puisi Iwan Dartha 

gelegar naluri alam ciptaan Maha Kuasa
sejukkan harapan kerontang pada hujan
aku melayang tangan tengadah hantarmu
aku memohon redakan ketakutan kerabat
yang didera gelegar lelah dan basah kuyup
atas izin Maha Kuasa mohonku senyummu

katamu kau sapaku untuk kasih kekuatan
cahaya gelegarmu semangati harapanku
dan akan tinggalkan​ku menuju kerontang
wahai petir dan hujan aku berterimakasih
wahai Yang Maha Kuasa sujudku padaMu
aku masih duduk bersila ketika hujan reda 

Jakarta, 2 Mei 2017
15:15 PM

Puisi di atas dibangun dengan bentuk rapi dan cenderung memperhatikan bentuk kotak—persegi panjang. Jumlah kata dalam setiap larik sengaja di atur sedemikian rupa supaya terlihat lurus antar larik dan antar bait. Tentu saja jumlah kata dalam setiap larik akan berjumlah berbeda antar larik lainnya karena ingin mendapatkan efek seimbang. Barangkali ini adalah ciri khas dari penyair ini, atau bisa juga ingin mendapatkan efek tertentu dari tema yang ia usung, seperti: “Ketika memohon, maka kita harus benar-benar serius, tidak urakan, bersih dan rapi sebagai tanda harapan. Kerapian adalah sebuah efek psikologis yang terpendam jika kita mau melihat dalam-dalam.

Lepas dari semua itu, puisi di atas ditulis bukan karena hati sang penyair yang sedang tidak tenteram, atau cemas terhadap kejadian alam—petir. Justru hatinya terusik ketika ada sahabat, orang lain, atau orang di luar dirinya yang memandang sebuah kejadian dalam bentuk efek yang tidak baik—dianggap buruk. Perhatikan diksi berikut ini:

aku memohon redakan ketakutan kerabat
yang didera gelegar lelah dan basah kuyup

Jika saja penyair ini telah tiada, maka perbuatan ini sama dengan perbuatan syirik. Bagaimana mungkin orang lain meminta kedamaian hati, menghentikan sesuatu yang menakutkan hati melalui doa orang lain? Belum lagi doa dalam bentuk puisi ditujukan kepada petir, dan berharap petir mampu menghentikan kekuatannya. Kenapa tidak melalui Tuhan—secara langsung? Hehehe. Di sinilah hebatnya penyair dalam memainkan peranannya.

Metafor-metafor yang muncul dari dialog dengan petir tentu menyimpan banyak simbol yang perlu kita telaah—kita simak. Dari beberapa larik, terdapat sebuah bujuk-rayu pada petir supaya kekuatannya reda. Perhatikan diksi berikut ini:

katamu kau sapaku untuk kasih kekuatan
cahaya gelegarmu semangati harapanku
dan akan tinggalkan​ku menuju kerontang

Penyair ini benar-benar mampu merayu, kalau dalam bahasa gaulnya—anak muda—dinamakan, “gombal”. Coba kita ingat-ingat, ketika ada orang yang tidak kita sukai, atau ada orang yang pernah kita marahi, lalu datang kepada kita sambil berkata, “Aduhai Tuan. Saya sungguh berterima kasih atas nasihatmu tempo hari. Marahmu adalah kesuksesanku. Saya beruntung bisa kenal dan dinasihitai olehmu. Bolehkah aku menganggapmu saudara?” Lalu apa yang terjadi pada diri kita?
Di luar bahasan itu, diksi yang dibangun itu bisa pula sebagai rasa positif penyair dalam memandang sesuatu. Karena dalam setiap kejadian pasti ada himah di dalamnya. Rasulullah bersabda:

“Saya  mendengar  Rasulullah  SAW  bersabda  dari  Allah  Azzawajalla, "Saya  berada  pada  persangkaan  hamba-Ku,  maka  berprasangkalah dengan-Ku sekehendaknya." ( HR Ahmad)

Pulau Punjung, 02 Mei 2015


Indra Intisa - KAWACA.COM

*Indra Intisa, Pemerhati Puisi, Dharmasraya

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.