Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

HIbah Buku - Samsudin Adlawi

HIbah Buku - Samsudin Adlawi

oleh Samsudin Adlawi

ORANG terkenang dua kejadian: kelahiran dan memasuki usia 17 tahun. Tidak semua sih. Tapi kebanyakan seperti itu. Saking fanatiknya, orang selalu merayakan tanggal kelahirannya. Ulang tahun. Setiap tahun. Ada yang sederhana. Tapi banyak juga yang meriah. Mewah. Habiskan puluhan juta. Hingga ratusan juta.

Serasa ada yang kurang ketika tidak mengulangtahuni tanggal kelahiran. Kalaupun lupa, selalu ada yang mengingatkan. Mulai orang terdekat (keluarga) sampai teman. Itu bukti kuat bahwa ulang tahun merupakan momen penting dalam hidup manusia. Maka berbahagialah bagi yang tanggal kelahirannya terarsip dengan baik. Tidak seperti saya. Tanggal kelahiran saya ketelisut. Seperti kebanyakan orang desa, orang tua saya hanya ingat hari lahir saya berikut pasaran-nya. Tidak ingat tanggal dalam kalender Masehi. Tapi saya bangga. Bahagia. Bisa menetapkan sendiri tanggal dan tahun kelahiran. Sesuai selera. Tentu saja, atas restu orang tua.

Hanya, saya tidak pernah merasa benar-benar gembira saat memperingati tanggal kelahiran. Rasanya kurang sreg. Itu sebabnya, saya juga tidak merasa secara pasti pernah berumur 17 tahun. Tidak seperti orang-orang kota. Yang menganggap usia 17 tahun sebagai momentum yang begitu penting. Usia 17 tahun adalah batas transisi masa remaja ke dewasa. Di usia 17 tahun seseorang dianggap sudah bisa mandiri. Seharusnya seperti itu. Makanya harus dirayakan. Dipestakan. Semeriah mungkin.

Tidak apa-apa. Saya boleh kehilangan momen mendebarkan memasuki usia 17 tahun. Tapi tidak dengan Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP RaBa). Meski masih kurang lima bulan lagi ulang tahun JP RaBa, dada saya mulai berdebar sejak sekarang. Ya, JP-RaBa terbit kali pertama pada 27 Juli 1999 silam. Kebetulan saya sendiri yang membidani kelahiran JP RaBa. Saat itu. Ditugaskan langsung oleh Pak Dahlan Iskan. Seorang diri. Disuruh mencari wartawan sendiri. Disuruh menyeleksi karyawan sendiri.

Pengalaman itu terus terang lebih mendebarkan dari momen ketika saya memasuki usia 17 tahun (yang tidak jelas itu). Wajarlah kalau menjelang 27 Juli 2016 hati saya berdebar. Terus berdebar. Bak ombak. Deburnya terus menghantam karang. Tak henti-henti. Seperti para remaja yang memasuki sweet seventeen, saya dan segenap karyawan JP-RaBa terus mendiskusikan “perayaan” spesial. Perayaan yang tidak mengutamakan hura-hura. Tapi lebih ke kegiatan yang selaras dengan visi media kami. 

Sudah 17 tahun kami ikut mewarnai perjalanan Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo. Menjadi saksi berbagai peristiwa penting. Menjadi saksi pergantian beberapa pimpinan di dua kabupaten bertetangga itu. Secara bisnis, JP-RaBa juga sudah mendapat “untung”. Khususnya dari Banyuwangi yang menjadi home based perusahaan kami. Nah, di usia 17 ini kami pengen memberikan kado istimewa kepada Banyuwangi. Juga untuk Situbondo, sebenarnya. 

Akhirnya, kami putuskan. Memberi kado yang abadi. Sebuah buku. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Kecuali ilmu. Ilmu yang dibukukan. Maka, kami cetak sebuah buku eksklusif. Superjumbo. Ukurannya tidak lazim. Lebih besar dari buku-buku yang sudah ada. Yang paling besar, sekalipun. Buku itu kami beri judul Jelajah Pantai Timur Jawa.  Sesuai namanya, buku tersebut berisi 42 pantai di Banyuwangi. Membentang dari utara di Wongsorejo sampai Sukamade. Ada yang sudah terkenal. Tapi banyak yang belum tersentuh. Belum menjadi destinasi. Tugas Pemkab Banyuwangi memberi sentuhan. Memolesnya. Sampai menjadi tujuan wisata. Kami hanya menginformasikan. Dengan data yang detail. Dengan gambar foto yang memesona. 

Buku eksklusif itu sudah di-launching Jumat (26/2) pekan kemarin. Di tempat yang mulia. Pendapa Sabha Swagata Blambangan. Tempat kegiatan-kegiatan kenegaraan digelar. Yang meresmikan Bupati Banyuwangi. Abdullah Azwar Anas. The rising star from The Sunrise of Java. Karena tujuan utama penerbitan buku hasil ekspedisi tujuh hari tujuh malam oleh tim JP-RaBa itu sebagai kado, maka saat launching kami hibahkan 300 eksemplar buku itu kepada Pemkab Banyuwangi. Diterima langsung oleh Bupati Anas. 
Penerbitan buku Jelajah Pantai Timur Jawa sebagai bukti cinta kami kepada Banyuwangi. Bukan cinta sembarang. Cinta yang tulus tidak pernah meminta. Sebaliknya, malah memberi. Maka, meski ada yang menyarankan untuk bekerja sama dengan pemkab agar mendapat bantuan, tapi penerbitan buku Jelajah Pantai Timur Jawa tak menggunakan sepeser pun dari APBD. Kami merasa bisa mencarikan biaya sendiri. Nyatanya memang bisa. Dan, lebih penting lagi dicatat, būku Jelajah Pantai Timur Jawa mendapat tempat yang begitu terhormat.***

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.