Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Panji yang Terbakar, Hati yang Gemetar - Hasan Aspahani

Panji yang Terbakar, Hati yang Gemetar - Hasan Aspahani

Oleh Hasan Aspahani 
Panji yang Terbakar, Hati yang Gemetar

KAWACA.COM | SEBENARNYA, apa hak saya menulis catatan ini, setelah membaca serangkai sajak-sajak Norham Abdul Wahab (NhAW) ini? Selamanya, saya tetap akan berabang padanya. Selamanya dia adalah abang yang penuh gagasan, dan ketika berada di lingkungan pergaulan dengannya selalu menyenangkan.

Kami dipertemukan oleh aksara, oleh sastra dan jurnalisme. Dua ranah itu di tangannya menjadi jalan dan senjata aktivismenya. Aktivisme Norham -- sebagaimana hasrat umumnya aktivis -- adalah membangun kekuatan untuk mempengaruhi kekuasaan agar bergerak dan bertindak ke arah yang ia yakini sebagai tujuan yang benar dan terbaik bagi orang banyak.

Setahu saya, ia tak pernah benar-benar terjun ke dunia politik, terutama politik lokal yang sedang bergairah kala itu. Tapi, dengan aksara ia memainkan peranannya. Ia wartawan yang cemerlang, dan pernah meneraju sebuah tabloid politik lokal yang sangat berpengaruh.

Kalaupun akhirnya saya mau menulis catatan ini, itu karena sebagai adik saya tak ingin menolak. Saya ingin tulisan ini menjadi penanda hubungan abang-adik antara kami. Setelah lama sekali tak bertemu, kami berjumpa dan berpelukan di Perpustakaan Nasional. Pertemuan itu dimungkinkan oleh buku puisi Rida K Liamsi – sosok yang sangat kami hormati – yang sedang diluncurkan ketika itu: Secangkir Kopi Sekanak.

Saya sempat tak mengenali penampilannya. Tapi ketika dia bersuara, ah mana bisa saya lupa suara besar yang selalu hangat dan bersemangat itu. “Bang Norham sudah berubah,” ujarku, membuat kesimpulan, yang kemudian saya rasa sangat terburu-buru. Kesimpulan yang harus saya koreksi ketika dia mengirim puisi-puisinya untuk saya beri catatan di buku ini. Dia tak pernah berubah.

Norham sememang tak berubah. Dia menemukan wilayah kegelisahan baru yang tetap harus ia suarakan dengan sajak-sajaknya. Dia tercerahkan. Dia hijrah. Dia menemukan tempat beruzlah. Tapi di jalan dan ruang hidup yang baru itu ia tak bisa untuk hanya diam “sembahyang dan mengaji” – meminjam bait Chairil. Ia tak bisa tak bersuara. Ia bergerak dan digerakkan kegelisahan lain. Sajak ini mungkin bisa memberikan gambaran perhatian dan kegelisahannya itu:

AGAMAMU APA?

kemarin dia bertanya, “agamamu apa?”
aku memegang janggut dan peci di kepala
lalu menjawab sekenanya,
sebab dia buta:
“panjinya telah dibakar, hatiku gemetar”
dia menangis, sejadi-jadi nak mengemis

kemarin dia bertanya, “akhirat itu ada?”
mulutku terdiam, hati merah padam
lalu,
aku balik bertanya, “agamamu apa?”
mulutnya terdiam, wajah merah padam

kulihat, di matanya ada asma yang terbakar
kulihat, dari dadanya ada asap yang keluar
: kalimah yang pergi menghindar

MBoro, 2018

Kita merasakan gelegak gairah dalam sajak sosio-religius ini, sebutan yang mungkin bisa diberikan kepada sajak-sajak Norham, jika lebel itu terasa diperlukan benar. Ini bukan sepenuhnya sajak religius, sebab tema yang digarap bukan tentang urusan manusia dengan Tuhan. Juga bukan hanya sajak sosial, karena yang ditampilkan bukan topik kemasyarakatan, meskipun yang terlibat adalah dua orang manusia.

Sikap penyair terhadap persoalan yang ia angkat dalam sajak ini tak dengan lekas bisa ditangkap. Dan justeru karena itu, bagi saya, sajak ini sangat memikat. Metafora, perumpamaan, repetisi, tukar-menukar posisi antara yang bertanya dan yang ditanya, kesamaran antara yakin dan ragu, dan ambiguitas membuat sajak ini di dalamnya penuh lekuk-liku makna dalam wujudnya yang utuh.

Asma yang terbakar pada mata, asap yang keluar dari dada, kalimat yang pergi menghindar, agama dan akhirat yang dipertanyakan, bagi saya adalah usaha untuk meragukan sesuatu untuk mencapai suatu tingkat keyakinan yang baru, yang lebih tinggi, yang lebih kuat. Di situ, ambiguitas dimainkan dengan sangat memikat.

Saya tentu saja bisa jatuh pada penyederhanaan yang parah, jika menyebut seluruh sajak Norham di buku ini senada dengan sajak yang kita petik. Tapi kesimpulan itu bisa ditempuh sebagai jalan untuk masuk dan menemukan Norham yang Norham. Ia dengan yakin memilih untuk terus bersuara dalam sajak-sajaknya. Seperti yang disebut Subagio Sastrowardoyo dalam pengantar kumpulan eseinya “Sosok Pribadi dalam Sajak” (Balai Pustaka, 2000). “Ia ingin membayangkan dirinya dalam kata-katanya. Ia tidak puas sebelum dirinya terungkapkan sepenuhnya di dalam sajak,” ujar Subagio, yang seperti Norham, menempuh pendidikan sastra di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, meskipun tentu saja pada tahun yang berbeda.

Coba kita rasakan lagi petikan ini: rumi, aku muak dengan tarianmu / geraknya monoton, rentak trombone / (aku lebih suka saksofon, tahu!). Nah, jika kau belum kenal Norham, maka kukatakan, “Inilah Norham”. Ia sedang gandrung pada Rumi, tapi dalam sajaknya Rumi pun ia bentak. Hal yang sama terasa pada sajak-sajaknya yang ia tujukan pada Sutardji Calzoum Bachri.

Juga petikan sajak ini: alquran dibaca untuk diperlomba / merdu merayu, mendesah menggoda / berjuta hadiah menunggu di sana / tapi, / suruh dan tegah jangan amalkan / hanya boleh dijadikan pajangan / malahan, di pusat-pusat pameran / ia diperjualbelikan (“All Size”). Di sini, Norham menghantam formalisme ritual beragama dan mengkritik penguasa yang seakan menghalangi nilai-nilai agama agar bisa hidup dalam keseharian. Isi kitab suci tak terinternalisasi jadi perilaku. Ia mencemaskan agama yang hanya menjadi seperangkat nilai-nilai yang seakan siap pakai. Apa yang mudah dilupakan dan ditinggalkan lagi.

Kewartawanan Norham terasa kuat pada sajak bertemua aktual, terutama yang ia tulis dan ia tujukan pada nama-nama yang merebut banyak tempat dalam pemberitaan, dalam beberapa waktu terakhir. Ya, Norham menulis sajak untuk Ustadz Abdul Somad, Habib Rizieq Shihab dan aksi 212. Sajak-sajak itu bukan sebuah epik atau ode yang lempang, yang membuatnya menjadi sajak pemujaan, pemandangan atau reportase yang dangkal. Tarik-menarik antara kewartawanan dan kepenyairannya di sajak-sajak ini – juga pada sebagian sajak lain – terasa benar mematang wujud akhir puisi-puisinya.

Namun, catatan ini hanyalah sebagian kecil dari jejak yang membekas dalam ingatan saya setelah membaca sajak-sajak Norham dalam buku ini. Dan tentu saja ini belum seberapa, belum apa-apa. Sama sekali tidak sepadan dengan keluasan penjelajahan tema, dan kekayaan cara ucap yang disuguhkan Norham.

Melanjutkan Subagio, saya berharap Norham pun “ingin tak putus-putus menulis sajak”, sebab ia yang menyair dengan kepetahan lidah Melayu pada bahasanya, kegairahan Islam dalam dadanya, kejelian jurnalis di matanya, semangat aktivisme pada sikapnya, tak berhenti mengungkapkan dan mengingatkan diri. Dan dengan cara itu ia menegur kealpaan orang banyak, serta mengingatkan penguasa yang salah langkah. Karena akan selalu ada “panji yang terbakar, dan hati yang gemetar”.

Jakarta, Mei 2019

Hasan Aspahani
Lahir di Sei Raden, Samboja, Kutai Kartanegara, Kaltim, 1971. Selamanya jurnalis. Penyair dengan sejumlah buku dan penghargaan Anugerah Utama Hari Puisi 2016. Menulis novel dan biografi Chairil (Gagasmedia, 2016), yang mendapat Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2018. Mengelola situs antologi tumbuh www.haripuisi.com, www.narakata.com dan www.lahirsajak.com  Kini bermastautin di Jakarta.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.