Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Puisi Pilihan Yoevita Soekotjo

Puisi Pilihan Yoevita Soekotjo

 Puisi Pilihan Yoevita Soekotjo
KAWACA.COM | Yoevita Soekotjo adalah nama pena dari Yovita Maria Ekowati Handayani, lahir di Blitar, Jawa Timur, tanggal 10 Februari 1967. Mulai aktif berteater dan berpuisi sejak bersekolah di SMA Negeri 12 Jakarta Timur. Saat itu, Yoevita beberapa kali menang pada berbagai lomba teater dan baca puisi tingkat pelajar SMA di Jakarta. Bahkan Yoevita dan kawan-kawan SMA-nya mendirikan grup teater bernama Teater Alun.

Aktivitas berteater dan berpuisinya berlanjut ketika tinggal di kota Medan pada tahun 2007-2014, dan tergabung dalam grup teater DeLick di Taman Budaya Sumatra Utara (TBSU) di kota Medan. Yoevita mengatakan bahwa TBSU ikut membesarkannya dalam aktivitas teater dan puisi.


Setelah pindah ke Jakarta pada pertengahan tahun 2014, Yoevita aktif pada kegiatan teater dan sastra di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pada tahun 2015 bergabung dengan komunitas Dapur Sastra Jakarta sampai sekarang. Pada tahun 2016 menjadi instruktur tamu untuk teater dan puisi pada Politeknik Negeri Jakarta.


Karya puisinya diterbitkan dalam kumpulan puisi bersama, yaitu "Antologi Haiku Indonesia" (2015), "Kitab Karmina Indonesia" (2015), Palagan Sastra, Kumpulan Puisi Penyair Dapur Sastra Jakarta' (2016), "Memo Anti Terorisme" (2016), "Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak" (2016), "Sebutir Garam di Secangkir Air" (2019), serta "Aku Menuju-Mu" (2019). 


Yoevita memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (SE) dalam bidang manajemen sumber daya manusia dari Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN), Bandung. pada tahun 1991. Saat ini tinggal dl Jakarta, dan terus aktif menulis puisi di media sosial Facebook, serta membaca puisi di berbagai acara sastra


Puisi Pilihan Yoevita Soekotjo 


DI BAWAH BINTANG YANG MATI BAHAGIA


Hujan selangit, bocor sekamar

Rindu selaut, ngilu seubun-ubun

Kaukah itu sisa ciuman yang menjelma kematian

di batang leherku?

Akukah itu sisa kematian yang menjelma kecupan

di ujung bibirmu?

Mawar dan belati sama-sama bunga yang tumbuh

di punggung kita yang mengandung doa dan dosa

Seekor kelelawar berkepak menembus malam. Di atas

kepalanya, bintang-bintang mati bahagia sebagai cahaya

(Jakarta, 15 Juli 2018)


SEPARUH DIALOG INI MILIKMU

Berdiri tegak ke depan kenyataan dan rindu
Menghadap dinding dingin tak berperasaan
Panggung kehampaan tanpa mata dan suara
Memolesku seperti boneka porselen
Tak ada perlawanan dan tepuk penyambutan
Menjemput sepasang mata datar lara dan layu
Memaku hampa tanpa riasan di balik paruh bayangan bulan
Aku kehilangannya bersama dialog dua peran
Tak pernah mampu berteriak lantang
Menyadarkan sesiapa insan

Kesepian terasa abadi di atas pentas
Panggung megah idaman hiasan tiap mimpinya
Ke mana dia membiarkanku dungu mematung bodoh
Separuh dialog naskah ini adalah miliknya
Harusnya ada ruhmu temani aku berbincang
Menunggu untuk lengkapi peran Kita

Masih saja aku berdiri tegak lurus
Di bawah paruh bulan yang menganga
Di belahan manakah panggungmu
Jangan bawa serta bagian peranku
Mengapa belum juga kau di sini
Sampai melepuh rapuh gedung kokoh sesangar ini
Nyatanya menua
juga sehitung garis waktu
:
Dan ada aku
Terperangkap di dalamnya!


(Jakarta, 10 Agustus 2018)

PEREMPUAN PENDOA DAN POHON HARAPAN


Bulu-bulu angsa terbang ke udara seperti tariannya tanpa

nyanyi keriuhan. Selembarnya jatuh di apitan ujung jemariku.

Jejak kakiku henti pada kisah yang tak tuntas.

Menyisakan kenang yang masih juga belum terkubur.
Kisahnya kubiarkan saja membusuk dan kering di atas
luka lama yang menganga.

Mulai kucoba bernyanyi lirih, nyaris tak dapat terdengar

oleh lalu lalang angin. Menampar bidang wajahku penuh.
Sakit sekali, sayang...

Di tepian danau persuaan sepasang angsa putih. Di bawah

pohon harapan yang menjulang. Tidak ada cawan kopi
pahitnya lagi sebagai wadah doa-doaku.

Kecuali danau biru dan ikan genit yang berlompatan,

telah menangkap isak pintaku. Mencari kesanggupan
berjalan lagi. Sepasti matahari.

(Jakarta, o7 Oktober 2018)


MANAH KATRESNAN


Mengayuh puisiku jauh

menyeret-nyeret rindu sampai ke tepian hatimu
Setibaku nanti
Kuharap kau ada di situ walau bukan untuk menunggu hadirku
Dari desah bening biru lautmu
Kusenandungkan puisi lukaku
Dibalut selendang halimun sunyi

Asmara sepotong jiwa ini terempas sekarat di buih waktu

Di atas sampan tak bersandaran
Tak tahu lagi jalan pulang
Kelu melafalkan namamu demi menolongku
Bertahan atas nama malu
Membiarkan 'ku mati rindu
Menggigil beku...

(Jakarta, 11 September 2015)


ISYA


Aku tertunduk lagi di sini

Di atas sajadah biru
Melukis warna yang sama
Di ruang nurani tak berjendela
Menghitung bintang-bintang
Lalu memilih satu sebagai harapan
Melangitkan sebuah Nama
Tersisip dalam doa kemuliaan
Menjelma sebagai tasbih
Gugusan bintang di tempat tertinggi

(Jakarta, 02 Maret 2017)


PUISI BERTASBIH


Kau tahu sayang

Gelisahku samar senyap terbayar tuntas
Setelah kau rangkum perjumpaan sakral
Puisi dan harapan menari di langit saga
Menyatukan irama dan diksi sebagai nafas pelangi
Mengundang bidadari meluncur turun ke bumi
Mengenakan sandang rajut puisi kita
Selaras mengulas
Kemudian jatuh di dalam buaian jiwa
Larut bersama senja menjemput malam
Cahayanya melayang terbang
Merangkai tasbih bintang
awas tatapan mata

(Jakarta, 22 April 2019)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.