Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Yoevita dan Puisinya - Riri Satria

Yoevita dan Puisinya - Riri Satria

Yoevita dan Puisinya
oleh Riri Satria

KAWACA.COM | Ketika Yoevita meminta saya untuk menuliskan prolog untuk buku puisinya yang pertama ini, saya mengatakan bahwa saya tidak akan mengulas puisi-puisi karyanya. Saya memilih untuk menuliskan pengantar untuk pembaca sebelum menikmati satu per satu puisi di buku ini. Ulasan tentang puisi Yoevita tentu lebih layak dilakukan oleh ahli sastra dan saya bukanlah ahlinya. 

Saya mencoba untuk mengingat, kapan saya mengenal Yoevita untuk pertama kali? Melalui jejak digital akhirnya saya ingat, yaitu bulan Oktober 2013 melalui Facebook. Tetapi saat itu, interaksi kami di Facebook nyaris tidak ada, selain saling memberi "like" untuk posting masing-masing. Saya ingat, Yoevita rajin menulis puisi di Facebook dan beberapa puisinya dimuat pada beberapa media daring. 

Melalui Facebook saya tahu saat itu Yoevita tinggal di Medan, aktif berteater dan berpuisi di Taman Budaya Sumatra Utara (TBSU) serta aktivitas menyanyi di berbagai acara. Interaksi atau tegur sapa saya dan Yoevita di Facebook baru terjadi bulan Agustus 2014. Saat itu Yoevita sudah pindah ke Jakarta. 

Pada tanggal 22 Februari 2015, saya bertemu Yoevita untuk pertama kali di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Saat itu sambil ngopi santai sore hari di Warung Bagong, tempat berkumpul Dapur Sastra Jakarta (DSJ) yang sekarang sudah


dibongkar, Yoevita banyak bercerita tentang kiprahnya di Medan, terutama kegiatan berteater dan bersastra (terutama puisi) di TBSU. Saya membiarkan Mbak Yoe (demikian saya memanggilnya saat itu) banyak bercerita. Lalu dia juga bercerita tentang makna puisi dalam hidupnya, dan keinginannya untuk memiliki sebuah buku puisi sendiri. 

Jadi, buku puisi yang sedang kita baca saat ini adalah buku puisi Yoevita yang pertama, yang sudah dicita-citakan sejak lama, tepatnya awal tahun 2015. Empat tahun kemudian, baru terwujud. Mungkin ini dapat dikatakan sebagai "skripsi" bagi Yoevita untuk "diwisuda" sebagai penyair.

Namun sayang sekali, puisi-puisi tulisan Yoevita sebelum tahun 2015 banyak yang hilang, berbarengan dengan "hilangnya" akun Facebook milik Yoevita yang lama karena sesuatu hal tidak bisa dipergunakan lagi. Banyak sekali puisi ditulis di akun lama tersebut dan tidak ada backup-nya. Hanya ada beberapa puisi yang masih "diselamatkan" karena ditulis di kertas serta yang pernah dimuat di media daring. 

Pada awal tahun 2019 ini, Yoevita meminta bantuan saya untuk menelusuri jagat internet melalui search engine Google dan metode archive lainnya untuk melacak keberadaan puisi- puisinya yang ditulis sebelum tahun 2015. Hasilnya, tidak banyak yang bisa diperoleh. Sayang sekali. Padahal Yoevita sudah menulis puisi di Facebook sejak tahun 2011. Sementara itu, puisi yang dibuat sebelum tahun 2011 banyak ditulis di kertas dan buku catatan, hampir semuanya hilang karena beberapa kali pindah tempat tinggal di Medan. 

Jadi semua puisi yang dimuat pada buku adalah puisi yang mulai ditulis pada tahun 2015 di Facebook, ditambah dengan beberapa puisi yang ditulis sebelumnya yang masih bisa "diselamatkan". 

Apakah makna puisi untuk seorang Yoevita? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mencoba mengingat berbagai dialog saya dengan Yoevita dalam berbagai kesempatan, terutama terkait dengan puisi. Setidaknya saya bisa menyimpulkan tiga hal. 

Pertama, puisi itu ekspresi emosi. Emosi di sini bisa rasa sedih, marah, takjub, kasihan, sampai dengan rasa cinta. Yoevita mengatakan bahwa jika sedang berada pada kondisi emosi tertentu, maka biasanya dia menulis puisi, kebanyakan ditulis di kertas atau buku catatan. Jika kita amati puisi-puisi pada buku ini, memang terlihat sekali ekspresi emosi sangat mendominasi. Yoevita sangat marah pada puisi "Pencuri" serta "Suatu Hari Angeline", atau sangat melankolis pada puisi "Teman Kecil" dan "Rajawali dan Itik Kecil

Saya mencatat, ada dua sosok yang sangat berarti dalam kehidupan Yoevita sehingga beberapa puisi pun dibuat untuk keduanya, yaitu Ibunya dan anak perempuannya. Ungkapan emosi cinta untuk kedua sangat kental sekali pada puisinya. Silakan baca puisi "Titip Rindu buat Ibu", "Rosa", "Untuk Ibu", "Aku Kangen, Bu", serta "Munira", "Payung Teduh" dan "Sigaraning Nyawa". 

Kedua, puisi itu media kontemplasi. Yoevita mengatakan bahwa kontemplasi dia lakukan ketika merenungi perjalanan hidup, mencoba berdialog dengan Yang Maha Kuasa, dan kemudian dituliskan dalam bentuk puisi, misalnya pada puisi "Antara Tahajud dan Subuh" serta "Isya". Nuansa kontemplasi sangat terasa. 

Ketiga, puisi itu menggugat dan memberontak. Yoevita mengatakan bahwa dia hanya bisa menggugat atau memberontak terhadap suatu sistem atau tatanan sosial melalui puisi. Dia tak punya kapasitas untuk memperbaiki sistem apa pun, selain menuangkannya ke dalam puisi, misalnya seperti yang ditulis pada puisi "Chaos", "Terlanjur Kartini", "Setelah Ini Apa Lagi?" serta "Maafkan Bila 'Ku Harus Jujur". Bagi yang mengikuti posting Yoevita di halaman Facebook miliknya, maka nuansa pemberontakan atau rebelian sangat terasa. 

Begitulah Yoevita dan puisinya, ekspresi emosi, kontemplasi, serta pemberontakan. Kombinasi ketiganya menjadi menarik untuk dibaca pada buku ini, sekaligus untuk menegaskan kepada kita tentang sosok Yoevita, yang beberapa kali menyebut dirinya seperti itik kecil tetapi memiliki luapan emosi yang dahsyat, memberontak, sekaligus kontemplatif.

Selamat membaca.

Riri Satria adalah konsultan dan dosen bidang manajemen dan teknologi informasi, pencinta puisi, serta salah satu pengurus komunitas Dapur Sastra Jakarta.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.