Merapal Bayang - Purnama Jingga
Merapal Bayang
Oleh Purnama Jingga
KAWACA.COM | Mei;
Diam-diam ketika kenanganmu memintaku pergi. Seperti aku harus membentang jarak seluas-luasnya antara mataku dan matamu, antara kataku dan kata-katamu lagi hatiku dan hatimu agar tidak pernah bertemu dan bercumbu. Kewajiban yang perlu aku tunaikan dalam hidup bukan menghilangkan segala tulisan yang mengenaimu tapi bagaimana taka ada cerita lagi, tak ada pikiran baik yang mengenai topik “kamu” lagi yang hinggap di otakku.
Kenanganmu mengirim ucapan terimakasih atas lukaku, dia tidak kejam, sayang. Sebagaimana kehadiran suara kita yang terbahak-bahak saat bertukar cerita atau ketika berhari tak bersua dan harus berjumpa dengan mengatasnamakan “aku kangen kamu”. Rasanya sia-sia saja kepecundangan dalil yang bertema persatuan, persaudaraan atau kesetiaan telah menerjang dada kita masing-masing. Aku tetap tertuntut untuk pergi.
Suatu hari ketika debarku lebih kencang dari suara seng yang tertiup angin, dan ketenanganku yang tergadai oleh keraguan-keraguan mengenai namamu. Aku larut dalam buaian masa , dimana aku harus benar lupa pada pernyataan dan ikrar kita. Aku mati
dalam kata kenanganmu yang tiba-tiba datang lalu menyuruhku pergi, secara diam-diam.
“Kita tidak akan menjadi orang yang salah selagi kita bisa menjaga”. Selalu begitu, seakan hal-hal yang bermunculan di otakmu lebih jelas melacak nasib dari pada beriman pada sejarah. Namun inilah ketakutan, ia datang tiba-tiba dan entah kapan perginya.
“kepasrahanku melapaui batas. Jangankan untuk menebas kisah bersama kenangan, untuk melebur bersama kesalahan pun aku mau, agar ada jalan yang menyatukan aku denganmu”. Pikiranmu tetap saja begitu, Tafqi bendungan yang mengelilingi cerita kita bukan masalah yang dibuat oleh orang jauh yang tak pernah kita kenal, bendungan dengan lumpur masalah itu datang dari kemauan kita. Aku menghormati persaudaraan ini dan mencintai perjuangan kita semua, tak terkecuali kekasihku dan kekasihmu.
Tafqi;
Aku kembali ke kota ini. Setelah berpamitan kepada lekuk senyum dan ikhlasmu. Akulah rokok yang kau larang itu Mei. Cinta yang menyulut dirinya sendiri, hingga jadi arang dan abu. Biarlah aku kandas dalam keterpaksaan api-api yang merajalela. Aku rokok katamu yang rela harus terpanah berkali-kali dan semakin mencintaimu.
Betapa berdosanya aku yang dengan sengaja memeluk tanganmu dengan erat tanta ingin melepasnya meski sekejap. Kau diam. Semakin tak mampulah aku dengan kenyamanan itu. Aku ingat benar, hari itu ulang tahun kekasihmu, sahabatku, aku mendatangi luka sendiri.
Kau ingat lagi Mei, berapa halaman buku cerita yang kita baca bersama, di bawah purnama kesukaanmu dan laut tempat lepasnya rindu. Kau penah meng”iya”kan kita akan menghabiskan malam-malam yang terang berdua. Aku menagihnya, dalam doa dan penantianku. Namun, entah pada siapa mestinya cerita ini bermukim Mei, pada lekuk tubuhmu atau kusimpan saja dalam kitab kenang yang pernah kubacakan untukmu di malam lalu. Sebuah kenaifan bagiku telah melibatkanmu dalam perasaan yang kujunjung tinggi dan memilihmu sebagai kekasih yang kusimpan sendiri, sekalipun sudah ku tahu Mei bahwa hatimu telah lebih dulu berpulang pada lelaki perbatasan yang mencintaimu dengan sangat tenang. Percayalah Mei, akan kucipta surga di bumi dan meminangmu dengan penuh puisi agar purnama malam ini sepenuhnya terbuka kemudian berpulang pada pangkuan dan tatapanmu yang masih basah.
Aku kembali meyakinkan diri Mei, bahwa akulah pemilik segala bentangan langit biru dan gelombang laut yang penuh cumbu senyummu. Aku menyadarinya, bahwa tiap debur ombak yang pilu selalu menjadi pengantar nasib baikku untuk mempertahankan perasaanku padamu agar tetap utuh.
Mei, aku yang mencintaimu dengan segala luka yang menyeluruh, menyumpat dimensi waktu pada nafas yang seringkali tak teratur jika berada di dekatmu, ini sebuah kegilaan bagiku.
Selamat atas kemenanganmu Mei, yang diam-diam sengaja mengajariku bagaimana cara bahagia dan menghadirkan keterpurukan dalam dada. Aku mampu bertahan ternyata. Dengan segala kesaksian yang menuntutku untuk tetap baik-baik saja sekalipun mesti kusambut dengan akrab luka yang mengelana. Pikiranku tak sampai pada degub jantung pertama- di mana mata kita sama-sama beradu dengan sebuah senyum getir yang membuatku candu padamu. Lihat saya, lagi! Aku tenggelam pada kedalaman debar jantungmu malam itu.
Mei;
Aku dengan kekasihmu siang ini Tafqi, rasa salah kembali memburuku dan keinginan untuk segera pergi meninggalkanmu semakin kuat. Namun, lagi-lagi aku terperangkap pada kepasrahanmu yang melampaui batas, kekasihmu begitu mempercayai persaudaraan kita yang tak pernah lekang oleh masa. Sekali-kali senyumnya tersungging di kelopak mataku. Betapa bahagianya Dia ketika menceritakan kebiasaanmu, iya. Menikmati purnama yang cantik di tengah bukit yang penuh cinta. Tiba-tiba ada yang menyelinap dalam dadaku, sebuah desakan yang mengundang darah agar menetes sengaja, aku terluka ternyata.
Pergilah, kita punya mimpi dengan jalan yang berbeda. Kau akan hidup dengan kebahagiaanmu dan aku akan lebih bahagia dengan ketenangan yang menanti. Percaya pada takdir dan mari bersamaku membuang semua ambisi ini.
Teruskan per jalanmu bersama kenangan itu, aku Ikhlas untuk yang kedua kali. Banyak masa depan yang perlu bertuliskan namamu dan nama kekasihmu. Dan aku tunggu itu semua.
Kita akan tetap berjumpa dengan jalan dan perasaan yang berbeda. Jantung kita yang berdetak lirih itu akan segera berakhir, besok ketika kedip matamu sudah tidak kusimpan lagi. Dan itu adalah kewajiban yang perlu aku tunaikan. Sekarang.
Dulu ketika kita sama takluk akan kenyamanan ini. Hal yang ditinggalkan adalah kesadaran persaudaraan. Dan sekarang tiba masanya kita kembali pada jalan itu. Tak ada alasan lain, sungguh. Demi perdamaian.
Kita adalah jalanan panjang tanpa ujung, seperti muara. Telusuri dimana ia akan kandas dan bertemu pada dangkalnya. Menunggu waktu, kau sanggup bukan?. Demi aku.
Jika pun pikiran atau alasan kita berbeda. Inilah keputusanku. Mau atau tidak itu pasti aku jalani, meski tanpa persetujuanmu.
Annuqayah-Lubangsa, Oktober 2019
Tentang
Purnama Jingga, Santri PP.Annuqayah Lubangsa Putri dan kader PMII Komisariat Guluk-Guluk. Aktif di Teater Al-Fatihah dan Supernova IKSTIDA.
Oleh Purnama Jingga
KAWACA.COM | Mei;
Diam-diam ketika kenanganmu memintaku pergi. Seperti aku harus membentang jarak seluas-luasnya antara mataku dan matamu, antara kataku dan kata-katamu lagi hatiku dan hatimu agar tidak pernah bertemu dan bercumbu. Kewajiban yang perlu aku tunaikan dalam hidup bukan menghilangkan segala tulisan yang mengenaimu tapi bagaimana taka ada cerita lagi, tak ada pikiran baik yang mengenai topik “kamu” lagi yang hinggap di otakku.
Kenanganmu mengirim ucapan terimakasih atas lukaku, dia tidak kejam, sayang. Sebagaimana kehadiran suara kita yang terbahak-bahak saat bertukar cerita atau ketika berhari tak bersua dan harus berjumpa dengan mengatasnamakan “aku kangen kamu”. Rasanya sia-sia saja kepecundangan dalil yang bertema persatuan, persaudaraan atau kesetiaan telah menerjang dada kita masing-masing. Aku tetap tertuntut untuk pergi.
Suatu hari ketika debarku lebih kencang dari suara seng yang tertiup angin, dan ketenanganku yang tergadai oleh keraguan-keraguan mengenai namamu. Aku larut dalam buaian masa , dimana aku harus benar lupa pada pernyataan dan ikrar kita. Aku mati
dalam kata kenanganmu yang tiba-tiba datang lalu menyuruhku pergi, secara diam-diam.
“Kita tidak akan menjadi orang yang salah selagi kita bisa menjaga”. Selalu begitu, seakan hal-hal yang bermunculan di otakmu lebih jelas melacak nasib dari pada beriman pada sejarah. Namun inilah ketakutan, ia datang tiba-tiba dan entah kapan perginya.
“kepasrahanku melapaui batas. Jangankan untuk menebas kisah bersama kenangan, untuk melebur bersama kesalahan pun aku mau, agar ada jalan yang menyatukan aku denganmu”. Pikiranmu tetap saja begitu, Tafqi bendungan yang mengelilingi cerita kita bukan masalah yang dibuat oleh orang jauh yang tak pernah kita kenal, bendungan dengan lumpur masalah itu datang dari kemauan kita. Aku menghormati persaudaraan ini dan mencintai perjuangan kita semua, tak terkecuali kekasihku dan kekasihmu.
Tafqi;
Aku kembali ke kota ini. Setelah berpamitan kepada lekuk senyum dan ikhlasmu. Akulah rokok yang kau larang itu Mei. Cinta yang menyulut dirinya sendiri, hingga jadi arang dan abu. Biarlah aku kandas dalam keterpaksaan api-api yang merajalela. Aku rokok katamu yang rela harus terpanah berkali-kali dan semakin mencintaimu.
Betapa berdosanya aku yang dengan sengaja memeluk tanganmu dengan erat tanta ingin melepasnya meski sekejap. Kau diam. Semakin tak mampulah aku dengan kenyamanan itu. Aku ingat benar, hari itu ulang tahun kekasihmu, sahabatku, aku mendatangi luka sendiri.
Kau ingat lagi Mei, berapa halaman buku cerita yang kita baca bersama, di bawah purnama kesukaanmu dan laut tempat lepasnya rindu. Kau penah meng”iya”kan kita akan menghabiskan malam-malam yang terang berdua. Aku menagihnya, dalam doa dan penantianku. Namun, entah pada siapa mestinya cerita ini bermukim Mei, pada lekuk tubuhmu atau kusimpan saja dalam kitab kenang yang pernah kubacakan untukmu di malam lalu. Sebuah kenaifan bagiku telah melibatkanmu dalam perasaan yang kujunjung tinggi dan memilihmu sebagai kekasih yang kusimpan sendiri, sekalipun sudah ku tahu Mei bahwa hatimu telah lebih dulu berpulang pada lelaki perbatasan yang mencintaimu dengan sangat tenang. Percayalah Mei, akan kucipta surga di bumi dan meminangmu dengan penuh puisi agar purnama malam ini sepenuhnya terbuka kemudian berpulang pada pangkuan dan tatapanmu yang masih basah.
Aku kembali meyakinkan diri Mei, bahwa akulah pemilik segala bentangan langit biru dan gelombang laut yang penuh cumbu senyummu. Aku menyadarinya, bahwa tiap debur ombak yang pilu selalu menjadi pengantar nasib baikku untuk mempertahankan perasaanku padamu agar tetap utuh.
Mei, aku yang mencintaimu dengan segala luka yang menyeluruh, menyumpat dimensi waktu pada nafas yang seringkali tak teratur jika berada di dekatmu, ini sebuah kegilaan bagiku.
Selamat atas kemenanganmu Mei, yang diam-diam sengaja mengajariku bagaimana cara bahagia dan menghadirkan keterpurukan dalam dada. Aku mampu bertahan ternyata. Dengan segala kesaksian yang menuntutku untuk tetap baik-baik saja sekalipun mesti kusambut dengan akrab luka yang mengelana. Pikiranku tak sampai pada degub jantung pertama- di mana mata kita sama-sama beradu dengan sebuah senyum getir yang membuatku candu padamu. Lihat saya, lagi! Aku tenggelam pada kedalaman debar jantungmu malam itu.
Mei;
Aku dengan kekasihmu siang ini Tafqi, rasa salah kembali memburuku dan keinginan untuk segera pergi meninggalkanmu semakin kuat. Namun, lagi-lagi aku terperangkap pada kepasrahanmu yang melampaui batas, kekasihmu begitu mempercayai persaudaraan kita yang tak pernah lekang oleh masa. Sekali-kali senyumnya tersungging di kelopak mataku. Betapa bahagianya Dia ketika menceritakan kebiasaanmu, iya. Menikmati purnama yang cantik di tengah bukit yang penuh cinta. Tiba-tiba ada yang menyelinap dalam dadaku, sebuah desakan yang mengundang darah agar menetes sengaja, aku terluka ternyata.
Pergilah, kita punya mimpi dengan jalan yang berbeda. Kau akan hidup dengan kebahagiaanmu dan aku akan lebih bahagia dengan ketenangan yang menanti. Percaya pada takdir dan mari bersamaku membuang semua ambisi ini.
Teruskan per jalanmu bersama kenangan itu, aku Ikhlas untuk yang kedua kali. Banyak masa depan yang perlu bertuliskan namamu dan nama kekasihmu. Dan aku tunggu itu semua.
Kita akan tetap berjumpa dengan jalan dan perasaan yang berbeda. Jantung kita yang berdetak lirih itu akan segera berakhir, besok ketika kedip matamu sudah tidak kusimpan lagi. Dan itu adalah kewajiban yang perlu aku tunaikan. Sekarang.
Dulu ketika kita sama takluk akan kenyamanan ini. Hal yang ditinggalkan adalah kesadaran persaudaraan. Dan sekarang tiba masanya kita kembali pada jalan itu. Tak ada alasan lain, sungguh. Demi perdamaian.
Kita adalah jalanan panjang tanpa ujung, seperti muara. Telusuri dimana ia akan kandas dan bertemu pada dangkalnya. Menunggu waktu, kau sanggup bukan?. Demi aku.
Jika pun pikiran atau alasan kita berbeda. Inilah keputusanku. Mau atau tidak itu pasti aku jalani, meski tanpa persetujuanmu.
Annuqayah-Lubangsa, Oktober 2019
Tentang
Purnama Jingga, Santri PP.Annuqayah Lubangsa Putri dan kader PMII Komisariat Guluk-Guluk. Aktif di Teater Al-Fatihah dan Supernova IKSTIDA.