Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Perlukah Simbol Agama untuk Sebuah Identitas?

Perlukah Simbol Agama untuk Sebuah Identitas?

oleh Shaifurrokhman Mahfudz


Keadaan umat yang telah tercerabut dari identitas keislamannya menuntut segera adanya upaya yang dapat meneguhkan kembali identitas tersebut. Meski upaya ini bukan hal yang mudah, sebab harus menghadapi sebuah tantangan baru yang justru muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri. Yakni, penetapan batas yang jelas antara Islam dan non-Islam, dianggap sebagai kesalahan dan ancaman bagi demokrasi dan penegakan hak-hak asasi manusia. Teori konspirasi yang melihat dunia sebagai arena yang dimanipulasi oleh golongan tertentu yang hendak menghancurkan Islam menurut mereka adalah kesalahan yang fatal, meski teori ini mudah diterima ‘pasar’ karena bisa memberikan justifikasi pada perasaan terancam, baik dari luar atau pun dari dalam.


Pandangaan-pandangan tersebut merupakan bagian dari point of view gerakan liberalisasi Islam yang ditopang oleh kekuatan-kekuatan global yang masih memendam islamofobia atau sikap curiga dalam memandang persoalan-persoalan Islam. Penyebaran paham pluralisme agama yang menyamakan kebenaran semua agama, kesetaraan gender dan gerakan liberal lainnya dipastikan dapat berimbas pada pendangkalan akidah, runtuhnya tatanan keluarga dan sistem sosial umat Islam.


Bagaimanapun juga, dinamika yang terjadi dalam umat ini harus disikapi dengan arif. Setidaknya, upaya-upaya yang dilakukan adalah sesuatu yang progresif dan mampu memberi pencerahan kepada semua pihak, bukan justru mempertegas perbedaan yang makin memperluas perpecahan umat. Karena kita menyadari kuatnya tradisi keislaman yang lebih banyak mengandalkan model adaptasi dan akomodasi pada budaya lokal, di sisi lain tidak cukup kuat mengimbangi perubahan struktur sosial yang terus berkembang. Akibatnya, terjadilah perubahan dari politeistik kepada monoteistik yang bisa dilihat dengan semakin maraknya kelompok-kelompok yang memonopoli kebenaran (truth claim) dan maraknya simbolisasi agama dalam berbagai corak.


Pendidikan agama kita, baik di madrasah, masjid, surau dan halaqah-halaqah ‘ilmiyah lainnya tidak mampu melakukan banyak perubahan. Terlebih di lingkungan pesantren, secara umum juga masih belum optimal. Hasil yang bisa dilihat adalah karisma kepemimpinan ulama. Namun karisma kewibawaan ini tidak diimbangi dengan profesionalitas, karena modal pengetahuan mereka yang tradisionalis lebih mengacu kepada sistem pengayaan kerohanian (spiritual enrichment) dalam bentuk aktifitas dzikir bersama, tarekat dan lain-lain. Wajarlah, jika upaya-upaya yang dilakukan oleh umat ini lebih terkesan menghindari persoalan dan bersifat defensif yaitu mempertahankan Islam dari gempuran infiltrasi Barat dan sekulerisasi gaya hidup masyarakat.


Tidak dielakkan, kuatnya keinginan untuk memberi identitas keislaman terhadap berbagai sektor kehidupan sosial, seperti ekonomi Islam, partai politik Islam, pendidikan Islam dan lain sebagainya justru memunculkan polarisasi dalam agama dan pemikiran dikotomis yang menumbuhkan kuatnya sikap emosional. Antara lain, dikotomi antara kelompok tradisionalis atau pesantren dengan pembaharu (modernis), kelompok tua dengan kaum muda, baik di Jawa maupun luar Jawa, merupakan kenyataan yang masih sulit dihapus. Terlebih, jika terjadi persinggungan yang bernuansa politis dalam diri umat Islam, maka muncul kemudian pandangan kritis yang menilai bahwa umat ini lemah dalam pengembangan profesionalisme dan kekuatan mereka hanya terlihat ketika ada penggalangan massa saja.


Karena itu, simbolisasi Islam memiliki pengaruh yang kuat dan imbasnya terasa sampai sekarang. Namun demikian, simbolisasi agama tidak selalu negatif dan tetap diperlukan manakala diimbangi dengan perluasan wawasan tentang keislaman sehingga terjadi pelebaran wilayah dakwah dengan spektrum pendekatan yang lebih komprehensif. Di sisi lain, simbolisasi yang dikaitkan dengan Islam juga dapat mendorong penilaian positif individu umat terhadap identitas agamanya yang tercermin dalam perilaku mereka yang teguh dalam pendirian yang benar.


Seorang tokoh Islam Pakistan, Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, menyatakan bahwa umat Islam dilahirkan bukan untuk menjadi sosok yang hanyut terbawa arus, melainkan mengarahkan peradaban dunia dan masyarakat manusia untuk mengikuti kebenaran yang mereka yakini. Keteguhan identitas umat juga dipercayai mampu mengurangi dampak polarisasi yang sangat merugikan mereka. Karena aset kultur keislaman yang dimiliki selama ini akan pudar dan umat Islam akan dianggap gagal memelihara keberagaman yang terbingkai dalam kekuatan solidaritas (ukhuwwahislamiyah).


Persatuan dan ukhuwah umat merupakan aset tak ternilai dan harus dijaga sampai kapan pun. Dari sinilah, kita bisa berharap lahirnya generasi muslim yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, tetapi juga ikhlas dan zuhud dalam menyikapi dunia, sehingga mereka tidak mudah tergiur oleh rayuan dunia dan bisikan setan yang dapat mengubah arah pemahaman dan cita-cita dakwahnya. Rasulullah SAW berpesan, “Sesungguhnya yang paling aku takuti bukanlah lepasnya iman dalam diri kalian, akan tetapi aku khawatir ketika dunia terbuka lebar dan kesenangannya terhampar di hadapan kalian”. Ini hadis riwayat Bukhari, No. 4042, dalam kitab Manāqibul Anshār, Bāb Ghazwatu Uhud: “Sesugguhnya aku tidak takut (tidak khawatir) kalian akan menjadi musyrik (menyekutukan Allah), akan tetapi aku takut (khawatir) kalian akan berlomba-lomba memperebutkan dunia."***

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.