Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Diperlukan: Glasnost Intelektual di Indonesia - P. Sidharta

Diperlukan: Glasnost Intelektual di Indonesia - P. Sidharta

Diperlukan: Glasnost Intelektual di Indonesia
Oleh P. Sidharta

Pendahuluan

Karena tirai besi komunis, manusia di Uni Soviet merasakan kesumpekan, kegerahan dan kegelapan. Untuk mengadakan perbaikan agar ruang napas menjadi lebih lega, kesejukan dapat menyegarkan badan dan cahaya dapat mengusir keremang-remangan, gorbachev telah menciptakan glasnost, yakni kondisi keterbukaan. 

Demi keamanan, setiap negara, baik yang komunis, fasis maupun yang demokratik, memiliki satu sektor tanpa keterbukaan, yaitu sektor dinas rahasia atau dinas intelijen. Para ilmuwan yang bekerja di sektor yang dikategorikan dalam sejenis dinas rahasia, seperti ilmuwan yang bekerja di institut teknologi tinggi yang membuat alat-alat canggih untuk peperangan dan ekspansi di luar angkasa, mereka harus merahasiakan tugas dan hasil pekerjaannya. Menurut Shakarov sebenarnya mereka bukan ilmuwan. Mengapa? 

Pokok Keterbukaan Intelektual 

Shakarov, seorang ilmuwan teknologi tinggi di departemen pertahanan negara di Uni Soviet minta diberhentikan dari jabatannya, oleh karena ia kehilangan kebebasan intelektualnya. Menurut Shakarov, seorang ilmuwan tidak tahan menyimpan penemuannya dalam diri sendiri, melainkan senantiasa berhasrat untuk mengomunikasikan di dunia ilmiah. Maka pada hakikatnya ciri ulama dari ilmuwan adalah hasratnya untuk berkomunikasi dan itulah dasar keterbukaan intelektual. 

Krisis keterbukaan intelektual sepanjang masa 

Dalam sejarah terdapat banyak contoh tentang usaha-usaha yang hendak meniadakan keterbukaan intelektual. Pada tahun 213 sebelum Masehi, kaisar Cina Shih Huang-ti membakar buku-buku Konfusius dan karya tulis cendekiawan dengan maksud menghilangkan pengaruh pihak lawan kelas yang berkuasa. Emperium Romawi tidak dapat menandingi emperium Byzantium dalam banyak hal kecuali dalam peperangan. Karena iri hati itu maka kebudayaan Byzantium (Helenisme) tidak dapat dikembangkan secara terbuka di Roma dan Eropa. Gereja Katolik pun anti kebudayaan helenistik yang memuja kepada dewa-dewa sehingga melarang kaum terpelajar Eropa yang beragama Katolik untuk mempelajari ilmu kedokteran helenistik. 

Berbeda dengan sikap Gereja Katolik dan emperium Roma adalah sikap dunia Islam. Di ketiga kalifahnya, Bagdad, Al-Iskandaria dan Kordoba, ilmu kedokteran helenistik dipelajari dengan bebas sehingga pada waktu Karel Agung membutuhkan seorang dokter untuk mengajar ilmu kedokteran di Prancis, ia mengajukan permohonan kepada kalif Harun Al Rasyid. 

Berkat keterbukaan dunia sekemakmuran Islam ilmu kedokteran helenistik (Yunani) dapat diawetkan dalam bahasa Arab. Dan karya txiis dalam bahasa Arab itulah merupakan sumber pengetahuan bagi Eropa yang menterjemahkanya dalam bahasa Latin.

Glasnost intelektual sekarang ini di Indonesia 

Tuan Pronk beberapa kali datang ke Indonesia untuk melihat keadaan sosioekonomik Indonesia di sana sini. Pada perlawatan inspeksinya kali ini, Prof. Dr. Mohammad Sadli dapat mengomentari bahwa kehadirannya (Pronk) membawa angin sejuk, karena merupakan contoh keluguan, informalitas, kesungguhan dalam keyakinan dan keterbukaan serta transparansi dalam dialognya dengan berbagai kalangan di Indonesia. Sebagai penutup tulisan Sadli di TEMPO 21 April 1990, dapat kita baca: “Bagi masyarakat Indonesia, yang dewasa ini ramai mendiskusikan masalah pemerataan, masalah demokrasi ekonomi, masalah kesenjangan sosial, maka kontribusi Jan Pronk kepada dialog nasional ini harus sangat dihargai. Tapi Pemerintah RI menyadari bahwa glasnost (keterbukaan) akan membawa manfaat bagi kita semua.” 

Tampaknya keterbukaan sudah masuk bidang sosioekonomik dan politik. Bagaimana dengan keterbukaan intelektual. Kini di kalangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) terdapat kesempatan untuk belajar bersikap terbuka melalui studi di Jurusan Bahasa dan Kebudayaan di Universitas Negeri di Leiden. Soalnya “Selama ini sarjana kita (IAIN) lebih banyak mempelajari taufik dan fikih” demikianlah penjelasan Bapak Zarkowi Soejoeti, dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. Lalu penjelasan berlanjut, “Karena itu ada baiknya bila kepada mereka juga diperkenalkan pemikiran-pemikiran mengenai Islam yang ada di kalangan para orientalis Barat”. 

Bagaimana di universitas yang wajib merupakan benteng kebebasan berikut keterbukaan intelektual? 

Kesan yang diperoleh berdasarkan kenyataan adalah sebagai berikut. Para dosen, dari profesor sampai asisten ahli, yang mengetahui misi tugasnya, yakni memeratakan pemilikan ilmu, semuanya bertindak sesuai dengan jiwa keterbukaan intelektual. Dosen yang tidak memperlihatkan keterbukaan intelektual tergolong pada kelompok yang dicoraki oleh aspirasi menjadi adikuasa intelektual. 

Bukan suatu dongeng apalagi kabar burung bahwa di perguruan tinggi pemerintah ada seorang guru besar yang menginstruksikan kepada para asistennya: “Jangan memberikan pelajaran terlalu banyak, karena nantinya kita mendapat terlalu banyak saingan” (dalam praktIk kedokteran sehari-harinya).

Lain profesor yang beraspirasi menjadi adikuasa dalam ilmu kedokteran, tidak senang kalau para asistennya mengetahui buku-buku teks terbaru yang sang profesor sedang baca. Aspirasi untuk tetap menjadi adikuasa dalam bidang kedokteran terbukti juga dalam kebiasaannya untuk “memberikan 5 sampai 7 pukulan saja” kepada anak didiknya, seperti suhu silat zaman dulu, yang mempertahankan 3 pukulan bagi bela diri kalau-kalau muridnya makar terhadapnya. 

Belum lama ini ada seorang dosen yang mengeluh tentang pengangkatan guru besar. Senat guru besar dianggapnya tidak bertindak bijaksana, apabila seorang guru besar diangkat dan staf bagian yang bersangkutan melontarkan pertanyaan ke ruang bebas: “Karena apa dia yang diangkat menjadi guru besar?” Jika ada keterbukaan intelektual, tidak mungkin seorang yang dikenal bobot akademiknya secara objektif diangkat menjadi guru besar. 

Tindakan anti keterbukaan intelektual yang juga jelas adalah larangan belajar dari buku teks karangan seorang dosen. Profesor yang melarang itu sendirinya tidak mampu menyusun buku teks, namun ia melarang para mahasiswa mempelajari buku teks yang ada (dalam bahasa Indonesia). 

Lebih-lebih di rumah sakit, praktik kedokteran sehari-hari dilakukan tanpa keterbukaan intelektual. Seorang penderita dirawat oleh seorang dokter. Dar hari ke hari keadaan pasien mundur dan keluarga pasien mengusulkan untuk menkonsulkan pasien kepada dokter lain. Dalam hal itu terjadi banyak hal-hal yang menegangkan, yang semuanya merupakan perwujudan dari sikap yang anti keterbukaan intelektual. Salah satu contoh yang diceritakan oleh suami seorang pasien adalah sebagai berikut: “Saya mempunyai dokter langganan yang sudah seperti kawan akrab sekali. Tetapi waktu istri saya sakit dan dirawat oleh dia, saya mengusulkan untuk konsult dokter lain. Di luar dugaan dan pengertian saya ia marah besar, sampai menuding-nuding kepada saya sambil menyampaikan kemarahannya. Ia menghendaki putus hubungan sama sekali”. Minta untuk diperiksa oleh dokter lain selalu diajukan kalau keadaan pasien mundur atau kalau diagnosis atau usul tindakan operasi dari dokter yang sedang merawatnya kurang sreg dengan perasaan atau pendapat keluarga. Minta “second opinion” atau “minta pendapat dari dokter lain” adalah hak azasi setiap pasien. Tetapi banyak dokter merasa dihina atau tidak dipercaya kalau pasiennya menghendaki pendapat dokter yang dimintai konsultasi berimplikasi bahwa ia lebih unggul dalam profesinya, maka setiap permintaan konsultasi dirasakan oleh dokter yang sedang merawat pasien sebagai penghinaan, bahwasanya dokter lain dianggap lebih pintar dari dia. Sebenarnya dokter yang sedang merawat pasien (“atten ding doctor”) harus memperlihatkan keterbukaannya demi kebaikan pasiennya. Semua konsult yang diusulkan oleh setiap pasien harus disetujui. Dalam suasana keterbukaan “attending doctor” dan dokter konsulen mencari cara penanggulangan yang paling baik bagi pasien. Dalam segala kemungkinan “attending doctor” senantiasa mendapat keuntungan dari konsultasi. Jika terbukti bahwa diagnosis dan tata pelaksanaan mediknya tepat ia mendapat dukungan kuat dari dokter konsulen. Bilamana diagnosis dan terapinya kurang tepat, ia memperoleh pelajaran dan pengalaman tambah. 

Menuju keterbukaan intelektual

Orang-orang yang menghalang pemerataan intelektual, orang-orang pencipta kesenjangan intelektual, dan orang-orang — dengan aspirasi monopoli intelektual merupakan kekuatan anti keterbukaan intelektual, yang menghalang kemajuan di segala bidang kehidupan bangsa Indonesia. 

Banyak kongres ilmiah telah diselenggarakan di Jakarta, Denpasar dst, tetapi belum pernah diadakan dialog nasional tentang sikap intelektual yang nasional, yang sehat dan tepat. 

Nepotisme dalam perguruan tinggi dan eselon tinggi segenap departemen RI sukar tumbuh bahkan tidak dapat berkembang, bila terdapat keterbukaan dalam seluruh aparatur negara. 

“Brain drain” akibat dipensiunkannya profesor, yang tidak mau menghibahkan segenap pengetahuan dan pengalamannya semasa dinasnya menjadi minimal sekali. Semua sarjana yang bersikap terbuka menjamin kehidupan intelektual yang kreatif dan produktif. 

Masalah kesenjangan sosial, pemerataan kemakmuran, dan masalah demokrasi ekonomi bergandengan erat dengan kesenjangan intelektual, pemerataan intelektual, demokrasi intelektual, yang dapat ditanggulangi melalui glasnost intelektual.***

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.