Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Mengenang Rachel Corrie - Mochtar Pabottingi

Mengenang Rachel Corrie - Mochtar Pabottingi

MENGENANG RACHEL CORRIE
oleh Mochtar Pabottingi

KAWACA.COM | Besok, 16 Maret 2020, adalah ulang tahun ketujuhbelas kemartiran Rachel Corrie, gadis 23 tahun dari Olympia, Washington, Amerika Serikat. Sebagai pahlawan pemberani dan pembela tulus rakyat Palestina, dia, pada 16 Maret 2003, menghadang buldozer militer Israel yang hendak meruntuhkan sebuah rumah keluarga Palestina. Tubuhnya digulung dua kali oleh buldozer itu. Itu terjadi di suatu sudut kota Rafa, di bagian Selatan Jalur Gaza kala berlangsungnya gerakan Intifada Kedua.
Untuk mengenangnya juga dengan tulus, saya telah menuliskan sebuah puisi panjang berjudul *RAFAH & Mirakel Burung-Burung*. Di bawah ini saya sengaja mengirimnya untuk sobat-sobat sekalian. Semoga bisa mengilhami. Semoga kita bisa terus berempati dan di mana bisa turut berkontribusi bagi perjuangan rakyat Palestina yang belum juga terlepas dari cengkeraman zionisme Israel yang kini kian buas dan jumawa, kini dengan dukungan Presiden Trump yang sama jumawanya dalam melanggar ketetapan-ketetapan internasional menyangkut Palestina.

Mochtar Pabotinggi :
RAFAH DAN MIRAKEL BURUNG-BURUNG
I
Sebentang negeri purbawi
Dihaki abadi. Lungkrah. 
Dengan harga-harga mati
Tidakkah Adam Yang Tanah berhak atas kehidupan di mana pun terbuka? 
Dan Abraham terpanggil meninggalkan Haran menuju Kanaan. 
Untuk menjadi Bapak Bagi Semua?
Di negeri ini, di ranah kelahiran serumpun nabi, sudah berpuluh tahun seruan-seruan para pendukung penguasa Israel bergaung bersama ayat-ayat Torah 
yang terus mendaku namun tak kunjung genah dengan Tuhan. 
Yang terus menjunjung namun tak kunjung berdamai dengan “Tanah Yang Dijanjikan.” 
Yang terus mengumandangkan “Kamilah cahaya di antara bangsa-bangsa” 
namun tak kunjung membuktikannya 
di depan pemangku tolok ukurnya yang sejati.
Tel Shiloh! Tel Shiloh!
Akan kami pancangkan tugu penanda di situs sucimu. Juga di Bethel. Juga di Hebron.
Kami adalah anak-anak rindu. 
Dari ribuan tahun lampau
***

Di tengah udara musim yang dingin bagai belati, seruan-seruan tadi melintas hingga ke Rafah di Jalur Gaza, bersama desis buldozer berbobot sepuluh ribuan kati, yang menggerus segala yang hidup, yang berabad-abad disantuni. 
Begitu pula segenap yang tegak 
dengan cinta dan bayang-bayang. 
Juga segenap sarana peradaban 
yang dalam milenia terbilang. 
Dan tiada henti menjadi perlambang.
Dan kendaraan baja itu terus bergerak maju. 
Terus berdesis. Dengan moncong mata pisau lebar raksasa yang beroda rantai gigi-gigi baja.
Ssserrr ssserrr ssserrr!

Ia melumat tak terhitung rumah, sekolah, gereja, masjid dan pekuburan. Ia menumbangkan pepohonan, menggusur tetanaman rumah kaca. Ia meremuk kuntum-kuntum hamparan anggrek serta kebun-kebun jeruk milik rakyat Palestina. Ia juga menghancurkan sumur-sumur serta merampas sumber-sumber mata air mereka. Ibarat monster naga berdengus bara, ia melumat segala jadi lengkara.
Dan seruan-seruan itu silih berganti.

Wahai yang tak berakar di sini pada tiga ribuan tahun silam, kami menghendaki seluruh tanah leluhur kami kembali. Kanaan seutuhnya!

Sudah ribuan tahun kami bergelombang terusir. Oleh maharaja-maharaja Assyria, Babilonia, Romawi. Toh di sini tetap kamilah yang mesti abadi!
Kami adalah pemilik sah Judea dan Samaria. Pewaris murni Tanah Yang Dijanjikan. Atas nama Torah!
Ssserrr ssserrr ssserrr!
Eretz Yisrael! Eretz Yisrael!
***

Berhadapan lima penggalah di depan buldozer, 
di suatu sudut kota Rafah 
yang tercekam, tegak seorang perempuan muda. Namanya Rachel. Bercita mulia sedari belia, penampilannya sederhana. Hanya kulitnya berona platina. 
Jaketnya terang jingga. 
Rambutnya pirang tembaga. 
Dia berdiri di antara buldozer 
dan rumah satu keluarga Palestina.
Rachel datang dari Olympia. 
Sepenggal dari Ibukota Amerika 
dengan berpuluh mata air dan berjuta burung merpati. 

Dan di sini, di Rafah, dia hadir bersama beberapa kawannya dari bagian-bagian dunia lain sebagai aktivis kemanusiaan.

Rachel membawa pesan-pesan kedamaian. Tapi buldozer itu tak kenal kedamaian. Ia adalah wakil kegelapan. Dari kejauhan, ia seolah mengendus Rachel. 
Dan perempuan muda ugahari itu tegak sendiri. Sungguh sendiri. 

Di situ, Rachel sia-sia mencari Amerika yang selama ini senantiasa meneduhinya.
Sempat dia terpikir tentang hidup dan mati. Sekelebat. Sempat dia ragu dan gentar. Bagai setetes air bening bekas salju yang bergantung genting di ujung satu jarum di rimbun daun cemara. 

Jauh dan sendiri. Tapi dia sudah berkata tentang itu. 
Seperti premonisi. 
Seperti suatu monolog di alam adikodrati.
“Bagaimana jika kesendirian kita bukanlah tragedi? Bagaimana jika itulah yang membuat kita sanggup menyampaikan kebenaran tanpa jeri?”
Lalu di telinganya terngiang kembali suaranya di usia pra-remaja. Hilang timbul. Seperti dari dimensi lain di mana yang lampau dan yang mendatang lebur ke dalam suatu gumam yang panjang. Sepuluh tahun sebelumnya.
“Aku tegak di sini karena membela anak-anak sebumi. Aku tegak di sini karena cinta. Aku tegak di sini karena di mana-mana anak-anak menderita. Dan empat puluh ribu orang mati kelaparan setiap hari ….” Maka dia pun tegar menghadapi buldozer itu.
II

Sudah tak terbilang kurun umat Yahudi di pusat-pusat dunia terus tekun merekam segenap kisah sengsara diaspora sembari berkhidmat memasang bintang David di tiap dada atau di dinding dalam rumah mereka. Mereka pun menyalakan kandelabra-kandelabra menorah di balik jendela-jendela. Mereka adalah manusia-manusia setia.

Ya! Kamilah keturunan Raja David, yang setelah pemberontakan Bar Kokhba di abad kedua Masehi terdampar terserak ke kota-kota Imperium Romawi. Ratusan tahun di Abad Pertengahan kami hidup damai dan terhormat di Spanyol di bawah Kemaharajaan Muslim. Lalu dari Semenanjung Iberia itu kami terusir. Juga dari negeri-negeri Eropa Barat. Jauh kemudian, juga dari beberapa negeri Timur Tengah. Di luar tanah kami sendiri, di banyak bagian bumi, warga kami sungguh kerap terpilin tak menentu. Atau terus melata dalam derita sengkarut Galut. Barangkali karena semua bertolak dari jati diri. Mungkin karena kami tetap setia. Tak sadar bahwa jati diri dan kesetiaan pun bisa menjelma kutuk. Sementara rindu kami pantang surut. 
***

Di banyak negeri kami terasing, terbelah, tercerabut. Diperkenankan balik ke Barat, beratus tahun kami berbakti. Merapatkan diri untuk diterima sebagai sebangsa dan menyumbang begitu berarti. Di gelanggang-gelanggang ilmu dan seni, kami pun paragon mahkota-mahkota. Dan di medan-medan perang, kami pun lambang ksatria-ksatria.
Tetapi alih-alih diterima, kami terus dicap sebagai manusia rendah. Seperti jelantah. Seluruh sumber kehidupan kami berangsur dicekik. Lalu kami ditumpas buas. Lewat pogrom dan holokos. Dalam kamp-kamp konsentrasi. Dengan kamar-kamar gas. Yang tak terperi dan beribu tahun terdahulu tak pernah terbetik dalam aksara mana pun.
Bermula di Jerman dan menyebar di Eropa Barat, di Eropa Timur, lebih-lebih di Rusia dan Polandia. Bergerbong-gerbong dan bertruk-truk wangsa kami, dari balita hingga orang tua, diangkut ke lokasi-lokasi rahasia. Untuk diperabukan hidup-hidup. Serempak! Di beberapa lokasi. Dalam dua tahun di awal tahun empat puluhan.

Auschwitz adalah seribu sembilu abadi yang akan terus mengiris jantung kami hingga ke ujung eksistensi. Berjuta-juta kami dihabisi! Dihampari gas beracun. Berjuta-juta pula kelopak mata kami semuanya terkurung cekung, melesak ke dalam. Maka para pembantai pun melihat kami semua serupa hantu. Akh! Andai saja para serdadu dan perwira Nazi itu bisa membaca sinar binar di tiap mata kami …. Tinggal tungkai tengkorak tak berkulit, menghitam bagaikan sisa kayu-kayu perapian, tubuh-tubuh kami diseret ke sekian kuburan masal terpencil. Ditumpuk bagai sampah. Dipolahi serupa limbah.
Tel Shiloh! Tel Shiloh!

Akan kami pancangkan tugu penanda di situs sucimu. Juga di Bethel. Juga di Hebron.
Kami adalah anak-anak rindu. Dari ribuan tahun lampau
Takkan lagi pogrom dan holokos, kamar-kamar gas, dan kamp-kamp konsentrasi ke kami menjangkau
Ssserrr ssserrr ssserrr!

Buldozer itu terus mendekat. Tak lagi jelas apakah sasarannya hanya bangunan rumah atau justru terutama Rachel yang tegak menghadang di antaranya. Tekad perempuan muda ini bulat. Menjaga rumah warga Palestina itu tetap utuh. Di situ, semalam, Rachel tidur seselimut dengan Iman, putri kecil tuan rumah. Dia sudah diterima sebagai keluarga. Nidal, anak lelaki tetangga, memanggilnya “Kakak!” Neneknya menyayanginya ibarat anak sendiri. Dan Rachel seolah menemukan rumah kedua. Dia turut tersengat duka atas kematian Ali, bocah delapan tahun yang potretnya tertempel di tembok-tembok permukiman kumuh di seputar Rafah. Korban terbaru tank Israel. Rachel belajar banyak dari penduduk Palestina. Tentang bagaimana bersabar memelihara kemanusiaan mereka di tengah aneka laku pembinatangan dari hari ke hari berwindu-windu.Dunia ikut merekamnya. Seperti tiap buyung dan remaja yang tungkainya sengaja dipatahkan atau dibuntungkan oleh serdadu Israel. Hanya karena melempari tank-tank mereka dengan batu. Seperti Mayalleh, wanita renta yang tubuhnya lebam-lebam digebuki karena menolak rumahnya dirampas Israel, lalu di rumah sakit dibiarkan terlunta-lunta. Seperti orang-orang Palestina yang dipaksa bekerja dari jam 3:00 pagi hingga jam 8:00 malam oleh pengusaha Israel, lalu disuruh tidur di kandang-kandang domba – suatu laku hina yang bahkan takkan dilakukan oleh kaum apartheid di Afrika Selatan. Atau diperlakukan seperti budak-budak hitam Afrika di padang-padang kapuk Amerika masa lampau. Atau setelah bekerja 17 jam disekap di suatu pabrik di Tel Aviv –praktek yang baru terbongkar ketika beberapa dari mereka hangus terbakar dalam gudang terkunci. Atau seperti berpuluh kepala keluarga Palestina yang digiring setengah telanjang bersama anak-anak lelaki mereka ke lapangan terbuka di bawah gigitan udara dingin dinihari. Dan di situ anak-anak kecil tadi dipaksa mengkemihi tubuh ayahnya masing -masing!
***

Di negeri ini, di ranah kelahiran serumpun nabi, sudah berpuluh tahun seruan-seruan para pendukung penguasa Israel bergaung bersama ayat-ayat Torah yang terus mendaku namun tak kunjung genah dengan Tuhan. Yang terus menjunjung namun tak kunjung berdamai dengan “Tanah Yang Dijanjikan.” Yang terus mengumandangkan “Kamilah cahaya di antara bangsa-bangsa” namun tak kunjung membuktikannya di hadapan pemangku tolok ukurnya yang sejati: Rakyat Palestina

III
Sekilas, di tengah desis buldozer, Rachel menangkap betapa kontras yang dia alami detik-detik itu dengan kehidupan keluarganya yang bahagia ceria di Olympia.
Tahukah Iman dan Nidal bahwa tak ada negeri lain di dunia yang warganya terus diintai menara-menara bercorong senjata api? Yang selalu siaga dan tega membantai?
Pernahkah mereka dibawa ayah-ibu mereka ke tempat-tempat indah di tanah mereka sendiri? Tanpa diusir atau dicekal oleh tentara pendudukan Israel di pos-pos militer?
Sempatkah Iman dan Nidal melepas dahaga dari mata-air murni di negeri mereka sendiri sebelum itu dirampas kaki tangan Israel, sebagaimana Rachel sendiri suka mereguk bebas air sebening kristal dari mata-air-mata-air Olympia?

Pernahkah mereka bebas berlarian dan bergulingan di padang-padang rumput Palestina, juga serupa dengan padang-padang rumput Olympia? Atau menaikkan layang-layang lalu bersama angin bertengger bergoyang di atasnya untuk menerawang setiap sudut kaki langit? Atau bersama teman sekanak belajar berselancar di sepanjang Pantai Gaza, menunggangi lidah-lidah gelombang di bibir hamparan Samudra Mediterania?
Adakah malam di mana ayah-ibu Iman dan Nidal bisa tidur nyenyak. Tanpa cemas pintu atau jendela rumah mereka mendadak didobrak untuk disulut api? Atau diwanti lima menit tengah malam sebelum dibom luluh lantak serata bumi?

Duh Gusti, berapa puluh ribukah anak-anak Palestina yang tak punya gairah hidup, yang tergagap meminta mainan-mainan sederhana, dan yang hilang mimpi?
Rachel mempertanyakan itu semua. Dia tertegun.

***
Dan buldozer itu kian merapat.
Kedua serdadu di dalamnya bagai sengaja tak peduli kepada Rachel. Benak mereka bagai buncah oleh tempik sorak gagah itu.
“Tel Shiloh! Eretz Yisrael! Tel Shiloh! Eretz Yisrael!”
“Selamat tinggal abadi holokos!”
“Hiduplah cahaya di antara bangsa-bangsa!”

Kedua serdadu ini mungkin meyakini keterpilihan bangsa Israel. Pemuja Perang 1948 dan Perang 1967. Mungkin mereka diajari betapa bajik segenap lelakon pembentukan negaranya. Mungkin Menachem Begin, Yitzhak Shamir, dan Ariel Sharon bagi mereka adalah tiga pahlawan-negarawan luhur. Tak ada brigade Irgun dan Haganah. Tak ada “Deir Yassin” dan “Sabra-Shatila”!

Tak sampai pada mereka derai-derai piwanti para bijak bestari Yahudi yang tiada henti bermunculan dari pusat-pusat peradaban. Bertahun-tahun sebelum Israel terbentuk. Dan jauh sesudah ia merajalela. Begitu pula nurani sebagian tentara dan beribu warga Israel yang akal, kalbu, dan kelopak matanya masih terbuka bagai cahaya.

Mungkin keduanya meyakini bahwa negara Israel sungguhlah pengejawantah ruh Israel. “Terbuktilah Kuasa Tuhan!” 
Atau mereka mungkin tak lebih dari serdadu bayaran. Maka buldozer itu pun terus merangsek ke sasarannya.
Ssserrr ssserrr ssserrr!
Sebentang negeri purbawi
Dihaki abadi. Lungkrah. Dengan harga-harga mati.
Tidakkah Adam Yang Tanah berhak atas kehidupan di mana pun terbuka?
Dan Abraham terpanggil meninggalkan Haran menuju Kanaan. Untuk menjadi Bapak Bagi Semua?
***

Kini buldozer itu tinggal lima meter di depan Rachel.
Namun tugur perempuan muda ini tetap. Dia sudah menangkap bayangan kematian. Alam gaib sudah membisikinya lewat sebersit mimpi buruk. Seperti ada yang memberitahunya, setelah itu siang, raganya takkan lagi lalang. Juga di rumah-rumah sakit sekitar Olympia tempatnya tekun menghibur orang-orang nestapa. Itu sudah diisyaratkannya dalam surat terakhir buat ibunya.

Kepada kedua pengendara buldozer dia memang terus melambai. Untuk menyatakan bahwa dia tetap ingin hidup. Namun juga siap untuk mati.

Terpaku di tempat, Rachel pasrah. Dorongan gundukan tanah urukan buldozer menjatuhkannya. Sekali lagi hatinya tergetar. Tak urung, pada detik itu dia merinding. Tapi segera semangatnya, entah dari mana, kembali bangkit. Dan dia kembali tegak di balik tanah urukan. Di depan bulldozer!

Sekebas angin menyibakkan rambutnya yang tembaga.
Dalam detik-detik itu, ibarat siraman kasih, ingatan Rachel melayang pada merpati-merpati di Olympia yang berbulu kelabu muda kecoklatan dengan tebaran bintik hitam di kedua punggung sayap. Sungguh menawan. Dia bagai mendengar sayup kukur mereka yang sendu. Bagai berita duka-akrab yang mustahil diurai kata-kata. Kesenduan yang sempurna tiap kali burung-burung rupawan itu melakukan perhelatan besar di musim gugur. Tapi di Rafah waktu itu adalah bulan Maret. Pasti musim semi di Olympia. Rachel seperti melihat merpati-merpati itu ramai berdatangan. Bersahut-sahutan. Di halaman sekolah atau di seputaran rumahnya, di kerimbunan pohonan mapel. Rachel merasa seperti memberi burung-burung itu reremah roti. Sembari mengajak mereka bermain dan bernyanyi.

Tepat sebelum buldozer menggulung Rachel, angin harum nafiri merdu mengangkatnya melayang. Terbang gaib ke kedalaman langit.
***

Rachel tahu.
Dia sudah menyatakan kebenaran dan kukuh di atasnya. Dia tahu dia telah memperkuat kesaksian bahwa seluruh korpus kisah tentang pogrom dan holokos, tentang kamp-kamp konsentrasi, dan kamar-kamar gas, betapa pun absah sebagai puncak lara manusia, bukanlah lisensi bagi kebiadaban sendiri. Dalam kadar apa pun. Korpus kisah itu telah terbekap oleh ironi dan nemesisnya sendiri. Negara Zionis Israel! Lantaran berpuluh tahun menimpakan kepada rakyat Palestina puncak lara setara. Juga demi menegakkan kemustahilan.

Ya, Israel dan Jerman Nazi adalah sama-sama proyek kemustahilan!
Di Jalur Gaza maupun di Tepi Barat, Israel menutup segenap ventilasi peradaban. Demi melapangkan ruang bagi pemusnahan saudara semoyang. Terperangkap dalam takdir Oedipus, Israel pun menemui dirinya mereduksi suatu negeri purbawi menjadi dua kamp konsentrasi raksasa. Altar-altar tempat rakyat Palestina dibiarkan melata sampai mati sendiri. Perlahan-lahan. Atau mereka sungkup dalam lingkungan beracun. Dan pembasmian sesama yang dicicil lintas dasawarsa se

Dengan mencekik segenap ruang hidup rakyat Palestina, Israel pun mencekik ruhnya sendiri. Ibarat Qabil di depan jenazah Habil.

Ratusan ribu bayi, anak-anak, perempuan, terutama pemuda dan pejuang Palestina yang telah diperabukan oleh pendudukan Israel adalah juga sesajen api. Mangsa holokos. Ditopang oleh aneka kiat sistematis. Muslihat hitam yang juga diawali dengan aneka laku bantai yang tak terbedakan dari sekalian praktek kawanan fasis, teroris, dan Schutzstaffel! 

Lalu dalam tiap peperangan yang timpang berpuluh kali, berlakulah meriam-meriam berhulu ledak api. Bom-bom napalm dan bom-bom berfosfor yang di areal mana pun mencincang habis seluruh fungsi jaringan tubuh para pejuang dan rakyat Palestina. Kerja senjata-senjata pemusnah maha api buatan Amerika! Dari buah persekutuan keji yang terus diperbarui.

Maka Rachel pun membaca genosida yang tak kalah Dasamuka.
Dia membela kemanusiaan. Dia memuliakan kehidupan. Dan berlalu ke dalam kedamaian.
***

Setelah menggulung Rachel tiga meter, buldozer dimundurkan oleh kedua pengendaranya. Seperti sengaja. Untuk memastikan korbannya remuk dua kali.
Sejumlah kawan Rachel dan lusinan warga Palestina yang menyaksikan kejadian tragis-bengis itu menghambur mendekat sembari berseru-seru memanggil namanya.

“Rachel! Rachel!”
Ketika itulah suatu mirakel terjadi.
Dari balik moncong mata pisau lebar raksasa, dari bawah roda rantai gigi-gigi baja buldozer berbobot sepuluh ribuan kati yang terhenti itu menghambur riuh keluar dan ke atas beribu, bahkan berjuta merpati. Mereka terbang berlintap-lintap. Warna bulunya kelabu kecoklatan berhias bintik-bintik hitam. Deru kepak sayapnya memenuhi udara dan angkasa.

Dan maha keajaiban tak berhenti di situ.
Dari langit, dari kaki-kaki kecil berjuta merpati itu terlontar bagai hujan kerikil-kerikil putih sebesar biji padi. Lalu hujan kerikil itu tercurah ke daratan di bawah. Seketika lanskap gugus-gugus permukiman haram warga pendudukan Israel terhapus di permukaan tanah. Digantikan oleh lanskap sebaran permukiman asli warga Palestina. Alangkah dahsyat! Rumah-rumah, batang-batang pohonan, tetanaman rumah kaca, kuntum-kuntum anggrek dan kebun-kebun jeruk milik mereka kembali bermunculan. Begitu pula sumur-sumur yang semula dihancurkan oleh para serdadu Israel. Juga puluhan sumber mata air jernih mereka yang dirampas oleh kawanan Zionis penyerobot.

Tak sampai sejam, seantero dunia geger. Seluruh jaringan pers, radio, dan siaran televisi memuat atau menayangkan lengkap berita-berita tentang mirakel itu. Juga dalam jaringan internet sejagat. Foto-foto Rachel terpampang di mana-mana. Dan yang paling menggemparkan adalah runtuhnya di bentangan wilayah biblikal itu segenap menara pengintai beserta dinding-dinding logam-beton tinggi pemisah warga Israel dan warga Palestina.
***

Jasad Rachel sendiri tak pernah ditemukan. Dia moksa. Tapi di udara sejuk, di antara riuh kepak sayap berjuta merpati yang beramai terbang ke Barat melintasi Samudra Mediterania, terdengar hilang timbul suara merdu seorang gadis pra-remaja:
“Aku tegak di sini karena membela anak-anak sebumi. Aku tegak di sini karena cinta. Aku tegak di sini karena di mana-mana anak-anak menderita. Dan empat puluh ribu orang mati kelaparan setiap hari ….”

Jakarta, 2018

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.