Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Dari Jono Fadli Dan Jua Anna - Sugiono MPP

Dari Jono Fadli Dan Jua Anna - Sugiono MPP

DARI JONO FADLI DAN JUA ANNA
oleh Sugiono MPP

KAWACA.COM | Sungguh, ini kejutan. Dua nama baru tampil di kawaca.com. Jono Fadli dan Juan Anna. Ini membuktikan bahwa pusai bukanlah suatu dilema bagi penulisnya seperti yang dinyatakan Rahayu Putra (kawava.com 27 Maret 2020). Bantahan tentang bukan 'dilema' itu juga berujud fakta, bahwa 1,5 bulan umur grup Sastra Pusai yang dihuni 360 akun dan setiap hari muncul antara 25-30 pusai terkategori layak.

Mari kembali ke kedua nama di atas yang adalah pemusai ke-7 dan ke-8 daftar tampil di kawaca.com. Seperti dinyatakan Sofyan RH Zaid, apakah pusai yang lolos kurasi kawaca adalah pusai yang baik? Tidak. Kurasi waktulah yang akan menjawabnya. Apalagi yang dikurasi kawaca baru dari sisi estetikanya, kelayakan puitikanya. Sedangkan visi, pesan yang menjadi inti pusai, yakni neofuturistik, di laman grup Sastra Pusai inilah kita kulik.

Memang, kelemahan umum para penulis ada di pemahaman neofuturistik (futuristik baru). Untuk mengapresiasinya harus kenal dulu istilah futuristik (beorientasi ke masa depan). Ilmu tentang masa depan itu dikenal sebagai futurologi. Sungguhpun ia merupakan disiplin ilmu yang baru, namun sudah mulai diaplikasikan di berbagai sektor kehidupan. Sedang di sastra, baru pada pusai yang menerapkannya.

Karena ia masih baru, kebanyakan pemusai tergelincir pada pengertian peramalan, penerawangan, penujuman, yang cenderung klenik, dalam melihat masa depan. Padahal, futurologi adalah ilmu yang.mempelajari tentang masa depan secara ilmiah. Ia adalah ilmu yang mempelajari apa yang akan terjadi pasa masa datang dengan menggunakan prinsip-prinsip hukum alam.

Dengan mempelajari futurologi kita akan mengetahui kemungkinan apa yang akan terjadi pada esok dan mempersiapkan jauh-jauh hari untuk menghadapinya. Futurologi mendasarkan prediksinya dari fakta dan data lapangan yang akurat. Hal inilah yang ada di luar kebiasaan bagi mereka yamg beranggapan bahwa sastra, utama puisi, cukup dari renungan, imajinasi, inspirasi, tanpa perlu informasi dengan data pendukung. Di sinilah letak perbedaan antara puisi pada umumnya dengan pusai. Dan hal itu masih tampak sebagai "kejutan" bagai pemuisi konvensional. Di karya-karya kedua penulis yang terkurator ini pun masih menampakkan wujudnya, walau secara tipis. Mari kita mulai dari pusai-pusai Jono Fadli.

SINAR KEHIDUPAN: masih/ di lafal ya nur/ hidup dan mati//. OBAT: Ya syifa/ ya salam/ menggapai khitmat/ tetes keringat/ mengalir//. SPIRITUAL: jalan risalah/ susun cakrawala/ dalam hening/ membumi//. BELAJAR: tetesan air/ jatuh di bebatuan/ pecah berurai/ kilauan berlian//. CAKRAWALA: Pandangan ini/ Sejauh kaki langit/ Warnai musim/ Menuju esensi//.

Kalau kita tanya apa pesan neofuturistik (futuristik baru) yang bertolak dari futurologi, yakni orientasi masa depan berdasar fakta dan data yang akurat? Saya belum bisa mendapatkannya. Artinya, meski diksi puitis, namun sama sekali tidak membrrikan jawab atas problem masa depan yang terukur dan tertimbang. Kelima puisi pendek ini lebih tepat sebagai Purai (puisi tarian sufi) yang grup khusus untuk itu ada di Sanggar Purai. Saya juga pendiri dan admin di grup tersebut. Tentang beda Pusai dengan Purai silakan baca esai Jejak Kemvara yang pernah diunggah di sini berjudul "Pusai, Jalan Sunyi".

Kini mari beralih ke pusai-pusai Juan Anna. ONLINE: dalam sekarung beras/ kulihat/ dunia tanpa batas//. Masih ada pesan neofuturistik yang tersirat. Bahwa globalisasi (dunia tanpa batas) dengan mudah bisa dirasakan (kulihat) di beras (pangan, hasil pertanian, ekonomi). Bahwa kita telah terjaring oleh budaya global. Sayang solusinya belum diunggah, yakni perlu reorientasi, restrukturisasi, revitalidasi paradigma lama.

PLUNG: di makan ikan/ di dalam kolam/ masuk ke wajan//. Ikan memakan umpan, ikan dimasak yang jadi santapan. Ada lompatan kausalitas di sini oleh perjalanan waktu dari kolam ke wajan. TERGODA: rumput tetangga/ tampak hijau/ lupa menyiram/ bunga layu/ di halaman//. Penggunaan metafora rumput, bunga, halaman, terhadap judul mengingatkan goda asmara, bisa juga goda hedonus. Pesannya, jangan lupa menyiram agar tidak layu. Tentu ini kias.

IQRA: huruf-huruf/ memancar cahaya/ kubur//.
Membaca (iqro) aksara (lambang, isyarat, tengara, pesan) yang menambah ilmu (memancar cahaya) kesempurnaan (kubur). INDIGO: menalar/ jejak samar// menangkap/ ruh/ sempurna bentuk/ tubuh bonsa//. Pesannya, tangkaplah esensinya (ruh) agar mendapatkan kesempurnaan yany indah sepesona bonsai.

DAUN: di ujung ranting/ selembar daun kering/ ringan jatuh melayang/ mencium tanah merah/ basah//. Saya terkesan pusai ini. Metafora yang dibangun mengena berdasar unsur waktu. Selembar daun kering di ujung ranting, selain rima yang merdu, juga ungkapan yang kena bagi sosok penyendiri, jatuh (pulang ke asal) pun ringan tanpa beban (melayang), dan yang semula kering menjadi basah karena mencium tanah merah (kubur). Ungkapan yang kena untuk mereka tang merasa sepi oleh kemarginalan dan tak perlu galau, karena pulang (kelak) pun ringan, di sana pun akan beda, dari kering menjadi basah.

Simpulnya, lewat hal-hal yang sederhana pun Jua Anna mampu menyampaikan pesan yang maknawiah, walau masih dalam kadar yang minimalis. Sebagai pelatihan untuk mencapai kehandalan, memang perlu proses. Akan tetapi sebagai bibit cukup berbobot untuk kelak dibebetkan Salam pusai.

Sugiono MP, 010420

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.