Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Mengulik Karya Ahmad - Sugiono MPP

Mengulik Karya Ahmad - Sugiono MPP

MENGULIK KARYA AHMAD
oleh Sugiono MPP

KAWACA.COM | Jangan keliru. Pusai pun puisi. Tapi ada garis pembeda yang tegas antara keduanya. Juga dalam proses kreatifnya. Penulis puisi (penyair) pada umumnya berangkat dari ketukan jiwa, suara hati (nurani) kemudian diekspresikannya dalam karya sastra. Suara hati itu ada yang menyebut sebagai inspirasi, ilham, imajinasi, terawangan, penglihatan ke depan, yang tentunya sudah lewat tapisan perenungan, pendalaman, pengolahan dan sebagainya. Pusai pun demikian.

Perbedaannya terletak pada kebebasannya. Pada puisi imajinasi itu bergerak bebas, ke mana pun arah dan tujuan muaranya, silakan saja. Tak ada pembatas pada ruang gagas. Sedangkan pada pusai membatasi diri hanya imajinasi yang berorientasi ke masa depan saja. Ini bukan berarti menafikan masa lalu dan masa kini. Kedua periode itu bisa diolah untuk melihat peta masa depan. Orientasi ke masa depan ini lazim disebut futuristik. Futur sinonim dari masa depan.

Pusai berorientasi futur tapi bukan futuristik. Ia neofuturistik (futuristik baru). Apa bedanya? Futuristik beorientasi ke masa depan. Sedang neofuturistik tidak sekadar masa depan, melainkan (dan ini inti utamanya) tentang problema pada masa depan. Neofuturisme pada pusai selalu berfokus pada problem dan solusinya. Wah, berat ya, seperti ramalan atau nujuman. Tudak juga. Dewasa ini sudah berkembang ilmu (secara ilmiah) untuk memrediksi keadaan, termasuk problema masa depan, yakni Futurologi. Ilmu yang berdisiplin mempelajari problematika masa depan ini tidak bertolak dari klenik, nujum, supranatural, bisikan ghoib, tapi berangkat dari pengolahan data empiris yang terukur dan tertimbang, serta terdimensi riil.

Memang, proses kreativitas seperti itu belum lazim di kalangan penyair, kepenyairan, bahkan di dunia kritik dan teori sastra, khususnya puisi. Itu sebabnya pusai merupakan hal baru dalam perpuisian, seirama dengan perkembangan kebudayaan dan pergeseran peradaban umat manusia. Pusai lahir di kungkungan abad ke-21 di mana ruang dan waktu seolah bisa dilipat dan paradigma lama mesti direorietasi, direstrukturisasi, direformasi, direvitalisasi supaya menzaman. Maka wajar seperi pada esai penyair Eko Windarto yang berjudul "Ekspresivisme Sastra Pusai" hal mendasar neofuturisme yang berangkat dari futurologi itu belum disinggung.

Kita maklum bahwa pemahaman kita tentang puisi sastrawi, juga rasa estetika yang kita miliki, adalah proses warisan dari masa lalu yang tetap melekat sampai hari ini. Padahal qitoh pusai adalah puisi masa depan yang parameter rasa estetikanya pun belum kita miliki. Jadi, adalah tidak tepat jika puisi masa depan dikenakan takaran dengan parameter estetika yang kita lekati, kita rasakan, pada masa kini. Bagaimana "bleger"nya? Di sinilah letak tantangan bagi penyair pusai (pemuisi) apakah karyanya mampu menjadi pemandu selera masa depan atau akan hilang ditelan hamuk gelombang waktu yang mendahsyat. Pusai diprediksikan merupakan ekspresi seni puisi avantgarde, puisi garda depan. Ini adalah peluang sekaligus tantangan bagi para pemusai.

Dengan uraian di atas maka wajar jika secara umum pusai-pusai yang tampil (di laman gawai) belum berstandarkan kebakuan pusai. Jika di grup Sastra PusaI dilakukan kurasi kelayakannya, hal itu semata-mata sebagai olah latihan karena grup itu dibuka sebagai wahana penyemaian bagi kandidat pemusai. Dan hal itu pulalah yang menjadikan beberapa kali grup pusai yang dibuka di fb (Sanggar Pusai, Puri PusaI awal, Sabila, Puri Pusai New) diistirahatkan karena alasan terjadinya eforia pusai yang berdampak mendistorsi makna dan hakikat pusai itu sendiri.

Kondisi itu kita maklumi karena beberapa hal objektif yang ada di pelataran sastra dan puisi kita. Di antaranya (1) Keterikatan pada kemapanan dan enggan untuk melakukan koreksi kritis berupa perubahan sesuai tuntutan zaman; (2) Gelombang teknologi komunikasi yang dahsyat berupa gadget yang meruahkan medsos termasuk keterbukaan kran berekspresi yang menghadirkan siapa saja secara bebas berekspresi puisi tanpa kurasi dari editor/redaktur menjadikan gradasis pada puisi sastrawi di medsos; (3) Sangat minimnya pemeduli sastra pun puisi sastrawi pada perkembagan ini dan mengabaikan publik apresiator sastra/puisi yang bergerak tanpa arah, mereka mencoba berpuisi secara tergapai-gapai bagai berada di dalam sumur yang tanpa dasar.

Kehadiran pusai disambut oleh mereka meskipun cuma sebagai setitik cerah di samudera lautan luas, namun setidaknya terasa ada pelampung. Wajar kalau karya mereka belum bisa disetarakan dengan karya penyair yang memiliki pergulatan kreatif dengan bekal pengetahuan akadenik, pengalaman empirik, dan pergaulan dengan dunia sastra termasuk keterceburan sosial dengan para sastrawan.

Dalam konteks seperti itulah mari kita simak pusai-pusai Ahmad yang murni merupakan generasi puisi gawai (baru kenal 1918) dan sama sekali belum memiliki bekal pengetahuan sastrawi serta pengalaman pergulatan empirik sebagai penyair. Inilah karyanya:

BIJAKSANA: kurang setapak/ mencapai puncak/ bersandar tenda/ menjemput bulan// (bijak itu tidak memaksa kehendak). STRATEGI: elang berputar/ menakar angin/ sasaran tak berkutik// (buatlah strategi dalam menghadapi kehidupan). SECANGKIR KOPI: tenda malam/ kafilah bersulang/ menyambung tali/ jaring rembulan// (capai cita dengan wajar, berimbang, jangan over). WARISAN: sebatang pohon/ senyuman anak cucu/ terlihat dalam embun// (embun, kristal bening, cermin pewarisan ke anak cucu). KETETAPAN: jiwa raga/ iman imun/ amin aman/// (,ini ketetapamn illahiat, meski diksinya secara estetika masih jauh dari purna).

Kelima karya di atas cukup mrnenuhi kreteria sebagai hemat kata sarat makna namun belum menyampaikan pesan neofuturistik berdasar futurologi seperti yang saya uraikan di atas. Tetapi untuk pemula yang baru aktif berpuisi kurang dari 2 tahun, hasil seperti capaian Ahmad ini suah amat sangat berarti. Semoga dengan membaca uraian di atas, sang pemusai akan lebih meningkatkan kualitas karya-karyanya. Amin. Salam sastra.

Sugiono MP, 020420

__
Sugiono MP/Mpp adalah wartawan, penulis biografi, memori, dan histori yang lahir di Surabaya, 9 Desember 19530. Sempat meraih Hadiah Junarlistik Adinegoro untuk metropolitan (1984) dan Penulis Pariwisata Terbaik (1984). Bukunya yang sudah terbit: Belajar dan Berjuang (1985), Srikandi Nasional dari Tanah Rencong (1987), Sang Demokrat Hamengku Buwono IX (1989), Jihad Akbar di Medan Area (ghost writer, 1990), Menjelajah Serambi Mekah (1991), Ketika Pala Mulai Berbunga (ghost writer, 1992), Melati Bangsa, Rangkuman Wacana Kepergian Ibu Tien Soeharto (1996, Persembahan Wiranto),  Pancaran Rahmat dari Arun (1997), Biografi Seorang Guru di Aceh (2004, biografi Prof. DR. Syamsuddin Mahmud), Anak Laut (2005, biografi Tjuk Sukardiman), Selamat Jalan Pak Harto (2008), Pengabdi Kemanusiaan (2010), dan Aceh dalam Lintasan Sejarah 1940-200 (2014).  Dia pernah bekerja di beberapa penerbitan, antara lain: Sinar Harapan (s/d 1984), Majalah Sarinah (1984-1988), Majalah Bridge Indonesia (1990-1995), Harian Ekonomi Bisnis Indonesia (1996), dan Komunikasi (1998). Kini dia sebagai Pemimpin Redaksi majalah online NEOKULTUR. 

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.