Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Dunia Pascacorona, Pendekatan Pusai - Sugiono MPP

Dunia Pascacorona, Pendekatan Pusai - Sugiono MPP

DUNIA PASCACORONA, PENDEKATAN PUSAI
Oleh: Sugiono MP

KAWACA.COM | Tulisan ini atas undangan Redaksi Kawaca.com sebagai apresiasi terhadap esai Apakah Dunia Tak Lagi Sama setelah Pandemi? oleh Dwi Pranoto. Jujur, saya tidak memiliki kapasitas ilmiah (murni) untuk menjawabnya. Namun karena janji adalah hutang, saya harus membayarnya atas jawab ‘insha Allah’ kepada si pengundang. Karena dua tahun terakhir ini bersikutat dengan pusai (puisi bonsai, yang hemat kata sarat makna dan neofuturistik) maka prinsip-prinsip dalam pusai itulah yang akan saya coba dekatkan dengan problema dunia pascacorona.

Corona muncul tidak dengan bim salabim, secara tiba-tiba. Tentu ada hulunya. Seperti keberadaan apa saja di semesta ini seirama hukum sebab akibat. Secara klinis, para ahli micro biologi, telah memaparkannya. Akan tetapi suara dari kalangan intelejen belum terdengar. Padahal lembaga kesandian yang dikaitkan dengan pertahanan, ketahanan, keamanan itu punya metode kerja sebagai pendetektor. Mereka mengendus gejala, fenomena, mengolah, memprediksi, melakukan upaya antisipasi dini agar mengamankan, setidaknya meminimalisasi dampak negatif terhadap apa yang terprediksi. Jadi, seolah-olah ada informasi yang masih tersembunyi di tengah abad keterbukaan global ini.

Tapi, apa pun penyebabnya itu, corona telah melantakkan perikehidupan dunia. Menggoncang. Membuat ketidakseimbangan. Atau memang, tatanan dunia dewasa ini berlangung secara tidak seimbang? Disharmoni? Dan, lewat wabah ini justru menampakkan kesejatian dan kenyataan aslinya? Padahal virus ini tidak menyerang. Ia tidak bergerak melebihi kodratnya. Secara kasat mata ia menduduki ruang yang statis. Perpindahannya ke tubuh manusia karena ulah manusia yang menyentuhnya, memindahkannya (secara tidak sengaja) ke rongga-rongga saluran tubuh (hidung, mata, mulut, dsb). Jika virus ini berada di cairan tubuh penderita lalu terpercik ke orang lain sehingga menginfeksi, itu karena ia terbawa dalam cairan yang muncrat tersebut. Bukan secara sengaja ia mau berpindah. Nyatanya virus ini tidak datang menyerang, tapi manusia terserang karena aktivitas manusia itu sendiri yang memungut atau menghinggapkannya pada manusia lain. Jadi virus ini menginfeksi manusia karena ketidaksadarpedulian manusia atas gerak aktivitasnya terhadap linkungan yang tidak kasatmata. Ketidakhati-hatian manusia. Jadi saya ingat frasa dalam salah satu bait serat Kalatidha anggitan Rangawarsita yang populer di masyarakat Jawa, yakni kata-kata eling lawan waspada (sadar dan hati-hati). Frasa tersebut masih cukup relevan dalam menghadapi situasi tahun corona dewasa ini.

Yang menarik dan positif adalah kegiatan antisipatif terhadap wabah ini. Mendadak manusia bumi saling bergandeng tangan dalam gerakan solidaritas baik formal maupun informal dari mulai tingkat bawah sampai mengglobal, dilakukan antarnegara. Saling bantu. Sebab, kalau tidak mengulurkan tangan, wabah kian merajalela dan dikhawatirkan mengusung maut bagi yang lain. Apakah ini murni kesadaran sosial, kepedulian atas nasib sesama manusia, atau justru ketakutan atas keterancaman personal secara individual? Apa pun hulunya, namun bermuaran yang cukup positif. Di samping itu lahirnya kreativitas secara spontan dalam menciptakan dan produksi alat-alat kesehatan dari mulai yang paling sederhana sampai ke yang canggih, guna pengamanan diri atas kemungkinan terinfeksnya tubuh oleh covid-19 ini. Dua poin kegiatan ini layak dipertahankan, bahkan perlu dikembangkan, sampai membentuk realitas baru yang menyimulacra realitas ril saat ini pada kelak pascacorona. Namun juga ada sisi spekulasi bisnis dan upaya monopoli bisnis obat serta perangkat kesehatan dengan dukungan sistem kapital yang mendunia. Hal ini layak diwaspadai, dan sebaiknya menjadikan nota hukum secara global agar tidak sampai menjadikan kontraproduktif yang tidak sehat di ranah kemanusiaan.

Pelajaran apakah yang bisa kita petik dari realitas wabah corona ini lalu kita racik sebagai formula mengantisipasi perkembangan pascawabah? Jang jelas dunia akan jatuh dalam krisis ekonomi, pun krisis di berbagai sektor kehidupan. Untuk itu umat manusia perlu bersatupadu, lebih erat bergandeng tangan, menghadapi masalah yang mungkin akan muncul dan lebih parah lagi dari sebelumnya. Perlu reoreintasi sistem penataan sosial di segala lini kehidupan. Juga jangan sampai terjadi pemborosan. Harus efektif efesian. Hemat energi tapi menghasilkan suatu yang sarat makna dalam kehidupan global. Konkritinya, beranikah kita merevitalisasi sistem kenegaraan dari negara bangsa menjadi negara global dengan pemerintahan tunggal? Dengan demikian aset dunia ini bisa diberdayakan untuk seluruh manusia bumi dengan pengaturan yang adil dan sejahtera bagi semua manusia.

Wah itu impossible. Tidak juga. Masalahnya bukan bisa atau tidak, mungkin atau tak, melainkan mau atau ogah. Bukankah ini demi manusia dan kemanusiaan global? Dengan satu pemerintahan dunia pemerataan kesejahteraan secara adil, proporsional, akan tercapai. Tidak ada lagi negara adidaya dan yang sebaliknya. Menghapus strata negara kaya dan miskin, negara maju dan berkembang, dan sebagainya dan sebagainya. Negara bangsa pun berbasis penduduknya, keluarga, puak, etnis, wilayah (yang dulunya kerajaan-kerajaan kecil atau wilayah-wilayah adat). Embrio untuk negara global itu sesungguhnya telah ada. Sebut Uni Amerika (Amerika Serikat), Uni Eropa, Uni Afrika, Uni Amerika Latin, Asean, dsb. Dengan demikian negara global ini akan mampu mengatasi krisis ekonomi secara global pula. Masalahnya masih ada manusia-manusia yang haus kekuasaan dan ingin duduk di singgasana pemerintahan negara. Lepaskanlah itu, demi kemaslahatan umat manusia bumi.

Sesungguhnya saya telah menulis pusai sehubungan dengan corona itu dan menyiratkan pesan solusi di dalamnya sebagai berikut.

WABAH

lagi

pandemi kembali mencekau bumi
mendung hitam konstatinopel berulang
sepuluh ribu kematian
setiap hari
       : 540 masehi


kota-kota mati

kuburan mati
mayat-mayat bergelimpangan
di jalanann
diterkam taun pes


simak

kan terulang kelak
jika para penghuni
tetap tamak
       : pesan procopius
         penyihir yunani


lalu black death

si hitam penyebar maut
sepuluh tahubn menebar teror
       : 1340 – 1350
menyusur jalur sutra dari cina ke krimea
mengendemi tiga per lima warga eropa


cacar hadur empat-lima abad kemudian

menghawar dunia abad dua puluh
merenggut tiga ratus juta nyawa


epidemi datang lagi 

flu babi
flu burung
flu hongkong
flu spanyol
dan hari ini
       : corona


petiklah hikmah

dari pageblug
ke pageblug
ternyata
ada yang hilang
di ruang tandang

030320    


Silakan simak puisi wabah yang pernah ada di dunia dari pes sampai corona. Ada pesan solutif yang tergurit lewat ucap penyihir (dalam realitas: prnyair) Yunani, Procopius, bahwa wabah akan terulang jika para penghuni (bumi) tetap tamak. Adakah bukan ketamakan sistem kapitalisme yang mengglobal dan berkemampuan mengontrol pasar (publik) lewat pemantauan satelit, juga sistem moneter, saham (bursa saham), dan berbagai sektor kehidupan pada era keterbukaan dewasa ini? Ketamakan manusia inilah mungkin yang akan jadi hambatan jika kita bentuk negara global. Maka, kunci kesadarpedulian, kehati-hatian global, yang disiratkan dalam pupuh tembang Ranggawarsita masih cukup aktual menjawab tantangan global pascacorona.

__
Sugiono MP/Mpp adalah wartawan, penulis biografi, memori, dan histori yang lahir di Surabaya, 9 Desember 19530. Sempat meraih Hadiah Junarlistik Adinegoro untuk metropolitan (1984) dan Penulis Pariwisata Terbaik (1984). Bukunya yang sudah terbit: Belajar dan Berjuang (1985), Srikandi Nasional dari Tanah Rencong (1987), Sang Demokrat Hamengku Buwono IX (1989), Jihad Akbar di Medan Area (ghost writer, 1990), Menjelajah Serambi Mekah (1991), Ketika Pala Mulai Berbunga (ghost writer, 1992), Melati Bangsa, Rangkuman Wacana Kepergian Ibu Tien Soeharto (1996, Persembahan Wiranto),  Pancaran Rahmat dari Arun (1997), Biografi Seorang Guru di Aceh (2004, biografi Prof. DR. Syamsuddin Mahmud), Anak Laut (2005, biografi Tjuk Sukardiman), Selamat Jalan Pak Harto (2008), Pengabdi Kemanusiaan (2010), dan Aceh dalam Lintasan Sejarah 1940-200 (2014).  Dia pernah bekerja di beberapa penerbitan, antara lain: Sinar Harapan (s/d 1984), Majalah Sarinah (1984-1988), Majalah Bridge Indonesia (1990-1995), Harian Ekonomi Bisnis Indonesia (1996), dan Komunikasi (1998). Kini dia sebagai Pemimpin Redaksi majalah online NEOKULTUR. 

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.