Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Saputan Kuas Arief Chandra - Sugiono MPP

Saputan Kuas Arief Chandra - Sugiono MPP

SAPUTAN KUAS ARIEF CHANDRA
oleh Sugiono MPP

KAWACA.COM | Saya gunakan ungkapan 'saputan kuas' untuk pusai Arief Chandra karena ia juga seorang pelukis. Cover grup ini dan dua kulit buku pusai (2019) adalah lukisannya. Perjalanan aliran seni fururisme tampaknya lebih memijak pada seni rupa (lukis, patung, disain dan arsitektur) ketimbang di seni sastra. Hal itu terbukti masih ada nafas yang mengihupi seni lukis futurisme (silakan googling) dan jauh lebih berkembang lagi di seni arsitektur setelah merevitalisasi menjadi neo-futurism.

Ciri futurisme pada seni rupa mudah dideteksi. Yakni yang mengesankan gerak dinamis mengacu percepatan ke depan. Di seni lukis ditandai oleh komposisi garis yang menempati ruang kanvas disempurnakan oleh warna sehingga memberi kesan gerak dari objek yang dilukis. Pada patung pun ada dinamika gerak, bukan patung-patung statis apalagi sublim. Di arsitektur lebih revolusioner dengan lahirnya manifesto bahwa neo-futurism arsitektur adalah penyerbukan silang antara seni, teknologi, dan nilai-nilai yang menawarkan kehidupan hari esok lebih baik bagi manusia.

Boleh jadi karena percepatan gerak ke depan aliran futurisme itu ditengarai oleh gerak fisik yang kasat mata (perubahan sosial oleh revolusi industri) maka mengalpakan gerak psikis, gerak batin, gerak jiwa, gerak zikir. Sehingga ekspresi di puiai berupa puisi-puisi protes sosial, pamflet, orasi, dan sejenisnya. Pada masanya, di Italia puisi jenis ini mendapat sambutan publik, dibacakan secara teateriikal, kadang penyair yang membacanya diwarnai suasana mabukria. Hal itu bertolak belakang dengan puisi-puisi timur yang sublim yang berkembang di China (Taoisme) atau di Jepang (Haiku, Tanka, dsb).

Ketika futurisme dicetuskan pada awal abad ke-20 (1909) sebagai gerakan seni dan pemikiran atas situasi dunia, di Indonesia pun kesadaran nasional itu mulai bangkit, ditandai oleh gerak batin, jiwa, yang mengutamakan budi, dan lahirlah perkumpulan Budi Utomo (1908). Ekspresi gerakan ini mengacu ke dunia pendidikan, penyadaran akal yang serasi dengan budi, sepertinya bertolak belakang dengan ekapresi futurisme Italia yang menghasilkan gerakan fasisme.

Acuan futur (masa depan) pusai tidak menggunakan terminologi futurisme Italia. Futurusme Italia berpandangan bahwa masa depan itu lebih baik dari masa lalu dan masa kini, oleh karena itu perlu dipercepat datangnya. Sedang pengertian masa depan yang dianut pusai adalah bahwa masa depan itu tidak lebih baik atau kebih buruk tapi setiap masa akan memunculkan problem baru (contoh virus corona) namun sekaligus juga solusi baru.

Ingat ahli kedokteran dunia Ibn Sina yang menyatakan tak ada penyakit (problem) yang tak ada obatnya (solusinya) sebab Allah Maha Adil, tak akan menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Berdasarkan penjabaran makna masa depan yang berbeda itulah maka futurisme pada pusai disebut naofuturisme (futurisme baru), pun bukan neo-futurusm arsitektur. Neofuturisme pusai yang lebih mengedepankan solusi problem masa depan ini lahir seabad lebih (persisnya 110 tahun) pascamanifesto futurisme Italia.

Sengaja saya mengantarkan pengertian neofuturisme karena pada umumnya para penulis pusai masih gamang memahami masa depan versi pusai. Nah dengan bekal uraian di atas mari kita nikmati 'saputan kuas' Arief Chandra di bawah ini (tanpa menyertakan titimangsa).

MEMBACA DIRI
terkapar
di ruang cahaya
gawai merenda diri

SELIMUT
Empat puluh lapis
Di dekap kabut
Keadilan
Sembilan cahaya

UNSUR
Air api angin
Tanah tak bergeming
Kembali ke asal

IMAJINASI
Seteguk Kepulan asap
Meraba semesta
Di puiing-puing
Alam purba

TAYANG
mengeja kata
menyingkap rasa
warna dunia terbaca

KITAB
buka
membaca hari
mengeja peradaban

Secara keseluruhan diksi tak teragukan. Estetis. Puitis. Struktur fisik kena, hemat kata. Membonsai. Tapi kita coba kulik.pesan neofuturistik apa yang disampaikan?

Pada "Membaca Diri" adalah deskripsi suasana (mungkin sang pemusaI) yang mengevaluasi diri tentang keberadaannya pada era gawai (mungkin juga dengan pusai) yang merasakan di 'ruang cahaya'. Adakah ini pesan samar buat anak cucu? Belum menawarkan solusi apa pun atas problem apa pun. Jadi tak lebih dari puisi ekspresif. "Selimut" pun, maaf, rasanya saya gagal mengejanya, karena tidak memberikan sinyal masalah, apalagi pengentasannya. Ungkapan "Keadilan" pun seolah hanya untuk membangun diksi tanpa mengorelasi yang maknawi. Sebagai pertanyaan, 'di' pada "di dekap kabut" partikel (awalan) apa kata depan?

Semula saya mengira jabaran Hastabrata pada "Unsur", ternyata tak. Mungkin pesannya zat manusia/kehidupan terdiri dari unsur yang disebutkan, maka akan kembali ke asal. Lalu mana solusinya? "Imajinasi" menggambarkan situasi pemusai yang sedajg minum (kopi?), merokok, merenung (membaca semesta), di kemayaan (puing-puing alam purba).

"Tayang" dan "Kitab" esensi pesannya sama, yakni membaca dan atau menyimak (tayangan) akan dapatkan warna dunua, pemahaman (mengeja peradaban).

Nah, semoga ke depannya bisa menulis pusai yang bukan sekadar puitis, melainkan juga yang maknawiah, yang sarat, dengan penyajian jawab atas problema kehidupan pada masa depan. Bagaiman caranya? Lakukan apa yang tersirat pada amanah pusai Tayang dan Kitab. Salam sastra.

Sugiono MP, 270320

__
Sugiono MP/Mpp adalah wartawan, penulis biografi, memori, dan histori yang lahir di Surabaya, 9 Desember 19530. Sempat meraih Hadiah Junarlistik Adinegoro untuk metropolitan (1984) dan Penulis Pariwisata Terbaik (1984). Bukunya yang sudah terbit: Belajar dan Berjuang (1985), Srikandi Nasional dari Tanah Rencong (1987), Sang Demokrat Hamengku Buwono IX (1989), Jihad Akbar di Medan Area (ghost writer, 1990), Menjelajah Serambi Mekah (1991), Ketika Pala Mulai Berbunga (ghost writer, 1992), Melati Bangsa, Rangkuman Wacana Kepergian Ibu Tien Soeharto (1996, Persembahan Wiranto),  Pancaran Rahmat dari Arun (1997), Biografi Seorang Guru di Aceh (2004, biografi Prof. DR. Syamsuddin Mahmud), Anak Laut (2005, biografi Tjuk Sukardiman), Selamat Jalan Pak Harto (2008), Pengabdi Kemanusiaan (2010), dan Aceh dalam Lintasan Sejarah 1940-200 (2014).  Dia pernah bekerja di beberapa penerbitan, antara lain: Sinar Harapan (s/d 1984), Majalah Sarinah (1984-1988), Majalah Bridge Indonesia (1990-1995), Harian Ekonomi Bisnis Indonesia (1996), dan Komunikasi (1998). Kini dia sebagai Pemimpin Redaksi majalah online NEOKULTUR. 

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.