Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Selayang Pandang Fikih dan Tafsir - Matroni Muserang

Selayang Pandang Fikih dan Tafsir - Matroni Muserang

Selayang Pandang Fikih dan Tafsir
oleh Matroni Muserang

KAWACA.COM | Secara sederhana kita pahami bahwa fikih adalah ilmu yang berbicara hukum  halal dan haram, sunnah, dan wajib. Sementara tafsir adalah ilmu yang berbicara persoalan tafsir dan menafsir dengan cara harus mengusai lima belas bidang ilmu pengetahuan, seperti mantiq, nahwu, sharraf, dan sebagainya……, artinya untuk menjadi mufassir harus mengusai lima belas bidang alat ilmu tersebut. Namun seringkali fikih dipahami sebagai pengetahuan yang tidak berubah. Inilah yang kurang dipahami oleh kita.

Padahal fikih atau apa yang disebut kalam selalu mengikuti perkembangan dan perubahan masyarakat, maka fikih pun harus mampu menjawab persoalan-persoalan masyarakat yang berubah tersebut. Berubah dalam hal ini tidak hanya zamannya, akan tetapi paradigma, karakter dan gaya hidup pun berubah, maka fikih harus ikut andil dalam menyelesaikan gejolak kemanusiaan yang semakin hari semakin jauh dari Tuhan. Persoalannya adalah fikih yang seperti apa yang mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah? Pertanyaan inilah yang harus kita pikirkan bersama, agar keilmuan islam tidak kering. 

Contoh misalnya qiyas dalam fikih, kalau qiyas dipakai tidak tepat pada tempatnya bisa qiyas tidak menghargai manusia, misalnya meng-qiyaskan wanita dengan baju atau barang, maka ketika kita menikah, kita akan mengembalikan, artinya wanita diqiyaskan dengan barang belian, membeli baju di pasar karena sobek dikembalikan, apakah mengqiyaskan seperti ini dibolehkan? Padahal hukum  harus mempertimbangkan sisi kemanusiaan. 

Kalau kita mau mengambil hukum  dalam suatu persoalan, maka yang harus kita pertimbangkan pertama kali adalah sisi kemanusiaan, sebab sisi kemanusiaan ini menjadi penting, kalau tidak maka akan banyak masyarakat yang akan menolak terhadap fikih tersebut, untuk itulah lahirlah fikih sosial (Shalahuddin Wahid), fikih kontekstual, ini artinya fikih tidak selamanya selalu berjalan di ruang yang eksklusif yang tidak terbuka terhadap perubahan dan perkembangan. Justeru inilah tanggungjawab ilmuan atau mufassir bagaimana menciptakan fikih yang sesuai dengan zaman, namun tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam al-qur’an dan hadist. 
Dalam konteks itulah fikih membutuhkan tafsir, agar fikih tidak berjalan kaku dan jadul (kadaluarsa), artinya fikih dan tafsir harus saling bergandengan tangan dengan mesra agar tercipta pengetahuan yang tidak kaku, namun justeru melahirkan pengetahuan baru yang dibutuhkan oleh masyarakat di zaman yang terus berubah. 

Namun yang terjadi justeru berjalan masing-masing, fikih sendiri, tafsir sendiri, fikih akan berbahaya jika berjalan sendiri, namun kalau tafsir tidak berbahaya, sebab tafsir memiliki dua instrumens dalam memberikan pemahaman, namun kalau tidak, karena terjadi justeru fikih yang kaku, fikih klasik yang kadang tidak sesuai dengan zaman. 
Maka wajar jika Anshori membedakan bahwa ulama fikih adalah ulama yang bisa berkata tanpa tindakan, misalnya taatilah kedua orang tuamu, tanpa ada cara dan bagaimana mentaati orang tua, sementara kalau ulama tafsir adalah ulama yang berkata, taatilah orang tuamu, tapi dengan cara dan strategi, namun si ulama tafsir akan terjun langsung ke tempat mendampingi si murid melaksanakan cara dan strategi dalam mentaati orang tua, dan inilah yang dilakukan ustadz Anshori terhadap murid-muridnya.  

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.