Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Menepis Takhayul dalam Kesusastraan Indonesia - Irawaty Nusa

Menepis Takhayul dalam Kesusastraan Indonesia - Irawaty Nusa

Menepis Takhayul dalam Kesusastraan Indonesia
Oleh Irawaty Nusa
-Peneliti pada program historical memory Indonesia



KAWACA.COM | Bagi para wartawan dan wisatawan yang pernah berkunjung ke daerah Rajashtan, India, dapat disaksikan bagaimana penduduk setempat mendatangi sekawanan tikus yang dianggap sebagai reinkarnasi dewi Karni Matta. Tikus-tikus itu hidup di kuil-kuil, makan sesajen yang disediakan masyarakat, kemudian esoknya membawa pulang nampan-nampan bekas sesajen tersebut, mengais sisa makanan dewi yang dianggap sebagai berkah yang mendatangkan nasib baik.

Sahabat presiden Soekarno yang kemudian menjadi pemimpin besar India, Jawaharlal Nehru pernah menyatakan dalam bukunya (The Discovery of India) perihal praktik-praktik takhayul dan khurafat yang begitu marak di ranah India pada tahun 1960-an. Banyak penduduk India yang berpegang pada kepercayaan mistik Hindu – tak beda jauh dengan Indonesia, meskipun memakai jubah Islam – namun masih banyak praktik keberagamaan berdasarkan dogma di luar nalar dan akal sehat manusia.

Kepatuhan buta dan kepasrahan diri pada makhluk, entah kepala suku, dukun, orang pintar, pemimpin partai, arwah nenek-moyang, jin, dedemit, Nyi Roro Kidul, yang sebenarnya bertentangan dengan kosmos ajaran dan religiositas Islam yang hakiki.

Sikap taat dan pasrah yang tidak kritis itu membuat mereka lupa diri tentang siapa yang sebenarnya mereka sembah, Tuhan atau hantu? Mereka mudah terjebak memuja figur yang dikultuskan, hingga bergantung pada kekuatan-kekuatan supranatural yang tak jelas kebenarannya. “Masyarakat yang hidup dalam kepercayaan dogmatis, pikirannya akan sempit, dan mereka akan sulit mencapai tahap kemajuan sebagai bangsa merdeka,” ujar Jawaharlal Nehru.

Bapak bangsa India itu kemudian menawarkan konsep yang baik agar bangsa India keluar dari perangkap takhayul, yakni menyemarakkan karya-karya ilmiah hingga masyarakat mampu membedakan mana yang fakta dan mana yang ilusi. Nehru tidak ragu-ragu mengacu dari konsep pemikiran filosof Immanuel Kant mengenai Sapere Audese, yang kemudian menjadi motto hidup bagi pemikir abad pencerahan, bahwa manusia harus punya keberanian untuk mencari tahu, dan berani berpikir kritis.

Nehru adalah orang pertama yang memperkenalkan istilah scientific temper, yang dapat diartikan dengan berpikir dan bertindak kritis dan ilmiah. Pentingnya scientific temper kemudian dimasukkan ke dalam konsitusi India setelah kemerdekaan, dan Nehru adalah presiden pertama yang membentuk asosiasi pekerja ilmiah di negeri itu. Setelah beliau wafat (1964), organisasi baru yang memasyarakatkan pola pikir ilmiah didirikan, yakni Society for the Promotion of Scientific Temper.

Masyarakat ilmiah India terbilang gigih dalam menyuarakan pola pikir ilmiah, misalnya setiap tanggal 28 Februari (sejak 1987) diadakan perayaan hari sains nasional, yang disemarakkan dengan berbagai kegiatan menyebarkan pentingnya berpikir dan bertindak ilmiah. Anak-anak muda milenial menunjukkan hasil riset dan penelitian mereka, penerapan teknologi terbaru hingga pengembangan mutakhir di bidang sains dan teknologi.

Gerakan untuk mengampanyekan scientific temper yang digagas Nehru tetap valid hingga saat ini, apalagi di masa pandemi Corona di mana semua orang ditantang untuk berpikir ilmiah. Anak-anak muda milenial di India terus menciptakan terobosan-terobosan baru dalam pemikiran dan penelitian kedokteran. Tentu saja bukan tanpa rintangan dan hambatan serius yang mempersulit ruang geraknya. Misalnya ketika berhadapan dengan sosok Andhra Pradesh yang masih getol mengembang-biakkan takhayul dan khurafat.

Orang bernama Andhra Pradesh ini gemar mengultuskan dirinya sebagai tokoh masyarakat , menyerang pemikiran Jawaharlal Nehru, dan bersikukuh percaya pada kekuatan-kekuatan gaib dalam ritual Kumbh Mela, yakni berkumpulnya jutaan warga India untuk mandi telanjang di sungai Gangga, Yamuna dan Saraswati. Konon, dengan mandi di tiga sungai itu dapat membuat mereka keluar dari siklus inkarnasi, serta memudahkan mereka masuk ke pintu gerbang nirwana (surga).

Biarkan saja orang semacam Andhra Pradesh itu, meskipun tidak sedikit jumlahnya di republik ini, yang dengan bangga dikultuskan sebagai tokoh masyarakat, politisi, pengusaha dan waliullah sekalipun. Biarkan saja mereka mengenakan ikat pinggang, sorban atau cincin pemberian dukun atau orang pintar, seperti juga Pradesh yang membawa tongkat sakti ke mana-mana.

Orang semacam itu, nampaknya tidak memerlukan berpikir dan bertindak ilmiah seperti yang dikumandangkan Nehru. Meski kemudian, sejarah akan mencatat kapasitas orang seperti Pradesh yang tetap bersikukuh membanggakan hal-hal gaib tersebut. Anda boleh saja mengikuti jejak Pradesh, dan merasa bangga disebut tokoh masyarakat. Meski pada akhirnya, Anda harus bersiap-siap menanggung risiko terpelanting dan tenggelam dalam percaturan sejarah.

Bagi Anda yang gemar menulis karya-karya sastra, sudahkah Anda mengevaluasi diri, seberapa banyak karya Anda yang dapat dibilang “valid” dalam konteks kekinian. Jika karya tulis Anda kurang membawa maslahat (malah cenderung madlarat) yang dapat melukai hati pembaca, serta tidak mendidik pencerdasan masyarakat luas, lalu untuk apa karya itu dipertahankan.

Saya percaya dengan ungkapan bahwa, ketika selera dan cita-rasa keilmuwan meningkat, maka pikiran dan perasaan kita hanya akan terkoneksi dengan tulisan-tulisan yang baik. Hal ini pun berlaku ketika kita menikmati suatu karya sastra, mendengar musik maupun menonton film yang bagus. Selalu akan ada penolakan yang alami terhadap karya-karya yang terkesan dangkal dan kerdil.

Karena memang, kualitas sastra yang baik, hanya akan terhubung dengan para pembaca yang memiliki software sastra di dalam benaknya. ***

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.