Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Laporan Pertanggungjawaban Juri Sayembara Buku Puisi HPI 2018

Laporan Pertanggungjawaban Juri Sayembara Buku Puisi HPI 2018

oleh Dewan Juri


Antologi puisi adalah sebuah buku yang menghimpun sejumlah puisi, baik karya seorang individu, maupun karya bersama individu lain. Bagi seseorang yang bergulat di dunia puisi, antologi puisi karyanya sendiri adalah capaian, bukti profesionalitas, dan dokumen sekaligus rekaman gagasannya yang wujud dalam bentuk buku puisi. Diandaikan, bahwa setelah sekian lama berkiprah, meski bersifat relatif, buku antologi puisi itu dapat dikatakan sebagai prestasi, wujud keberhasilan dan otentisitas perjuangannya dalam arena perpuisian. Ia hadir sebagai anak kandung kreativitas, sebagai ekspresi evaluatif pergulatannya di bidang puisi. 

Mengingat puisi merupakan buah kreativitas yang di dalanya berbagai gagasan diwujudkan melalui medium bahasa, maka puisi sering kali memunculkan pemikiran yang tidak terduga. Sejarah telah mencatat, betapa besarnya sumbangan puisi bagi bangsa dan negara ini. Dikatakan Sutardji Calzoum Bachri, “Jika tidak karena puisi (: Sumpah Pemuda), ‘tidak akan ada’ bangsa ini.” Oleh karena itu, puisi mestinya mendapat apresiasi dan penghargaan yang pantas dan sepatutnya. Itulah salah satu dasar pemikiran diselenggarakannya “Sayembara Buku Puisi”, yaitu menempatkan puisi secara terhormat, bermartabat, dan bermarwah.


Pertanyaannya: puisi yang bagaimana yang perlu mendapat penghormatan dan penghargaan yang bergengsi? Apakah puisi sebagai buah kreativitas itu menawarkan sesuatu, menyuguhkan hal yang baru, orisinal, dan tampil memberi inspirasi lantaran kesungguhannya melakukan eksplorasi potensi bahasa sebagai medium puisi? Lalu, bagaimana pula model estetik yang (mungkin) hendak diburu, diraih, dan dilesapkan dalam larik-larik puisinya. Atau, apakah ia hadir sekadar wujud sebagai buku puisi pada umumnya: terlalu biasa, artifisial, sekadarnya, dan hanya menambah jumlah deretan nama belaka tanpa kelebihan apa pun? Atau lagi, apakah puisi-puisinya terjebak pada kegenitan bermain-main dengan bahasa yang penuh busa dan asyik-masyuk dengan dirinya sendiri, sehingga berada dalam dua wilayah yang seperti bertolak belakang: terlalu gamblang dan mendayu-dayu atau berada di lorong gelap?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan itu, diperlukan sikap inklusif—membuka diri agar kita punya kesempatan memasuki tubuh puisi. Dengan begitu, kita (: pembaca) dapat menentukan semacam alat ukur dan model kriteria yang tepat memasuki wilayah penilaian. Ada anggapan, bahwa setiap karya pada dasarnya khas, unik, dan berbeda dengan karya lain, maka penilaian terhadap karya sastra seyogianya berdasarkan model kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan kekayaan teks yang bersangkutan. Oleh karena itu, model kriteria yang dipakai sebagai alat ukurnya mesti mencakupi keseluruhan elemen yang membangun puisi atau karya sastra pada umumnya. 


Sebagaimana juga ketika kita hendak menilai sebuah bangunan rumah, misalnya, kita dapat menilai kelebihan dan kekurangan bangunan rumah itu melalui arsitekturanya, bahan-bahan materialnya, komposisi ruangannya, dan seterusnya, dan seterusnya. Contoh lain dapat kita ambil lewat analogi sebuah kendaraan: apakah desainnya sesuai dengan jenis kendaraannya, dengan kekuatan mesinnya, dengan ukuran rodanya, dan seterusnya dan seterusnya.

Begitulah, kriteria digunakan untuk melakukan penilaian terhadap puisi secara objektif. Meskipun bersifat umum, dalam implementasinya ia menyentuh persoalan kelebihan dan kekurangan, keunikan atau kekhasan, yang pada gilirannya berdasarkan kriteria yang ditetapan, kita dapat menunjukkan keberbedaan karya yang satu dengan karya yang lain. Adapun kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut:


(1) Keterbacaan (legibilitas)
(2) Kepaduan (koherensi)
(3) Kedalaman (kompleksitas)
(4) Kebaruan (inovasi)
(5) Keaslian (orinalitas)

Kriteria tersebut sebenarnya bersifat umum. Artinya, mereka dapat digunakan juga untuk menilai karya sastra ragam apa pun (puisi, novel, cerpen, atau drama). Bukankah karya sastra yang baik—dan sebaik-baiknya—menuntut atau mensyaratkan adanya kelima kriteria itu? Meskipun dalam praktiknya kelima kriteria itu diterapkan secara berbeda pada masing-masing ragam sastra, mereka tetap saja dapat menjadi alat ukur untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan, kelebihan atau kekurangan karya tersebut. Jadi, dengan dasar kriteria itulah, Dewan Juri menentukan pilihannya.


Proses Penjurian


Proses penjurian dalam Sayembara Buku Puisi Yayasan Hari Puisi dilakukan melalui tiga tahap.


Pertama, penentuan lolos masalah administrasi. Pada tahap ini, panitia sayembara memeriksa perkara yang berkaitan dengan persyaratan administrasi yang menyangkut ketentuan: (1) jumlah buku yang dikirim, (2) tahun penerbitan, (3) kebenaran nomor ISBN, (4) tidak (belum) pernah mendapat penghargaan sayembara dari lembaga atau institusi lain, (5) tidak sedang diikutkan sayembara lain, (6) antologi tunggal, bukan antologi bersama, (7) antologi puisi, tidak digabungkan dengan cerpen atau esai, (8) antologi puisi dalam bahasa Indonesia, tidak dwibahasa, (9) tidak ada kata pengantar juri.


Kedua, semua buku yang memenuhi syarat administrasi itu, secara bertahap dikirim ke dewan juri. Pengiriman secara bertahap ini memberi kesempatan dewan juri untuk memeriksa dan menilai setiap buku puisi dengan seksama. Jadi, sejak tanggal sayembara ini dimulai, panitia akan mengirimkan buku-buku puisi kepada dewan juri. Dengan begitu, dewan juri sudah memulai tugasnya sejak tanggal dibukanya sayembara ini sampai dewan juri melakukan rapat untuk menentukan para pemenang. 


Pada tahap ini, setiap juri memilih 10—20 buku puisi yang dinilai memenuhi kriteria sebagai nomine. Paling lambat 10 hari atau seminggu sebelum pengumuman nomine, dewan juri melakukan rapat bersama. Masing-masing kemudian mengajukan daftar 10—20 judul buku. Setelah daftar 10-20 judul buku dari masing-masing juri direkapitulasi, hasilnya adalah sebagai berikut: (1) buku yang sama dipilih tiga juri, (2) buku yang sama dipilih dua juri, (3) buku yang berbeda dipilih masing-masing juri. 

Untuk buku yang dipilih oleh tiga juri, secara otomatis masuk nomine. Untuk buku yang dipilih dua juri, juri yang tidak memilih buku tersebut diberi kesempatan menyampaikan argumen penolakannya. Jika argumentasinya hanya diterima salah seorang juri, buku yang bersangkutan dipertimbangkan untuk tidak masuk nomine. Sebaliknya, jika dua juri yang memilih buku tersebut dapat meyakinkan juri yang menolak tadi, kemudian menyetujui pilihan kedua juri, buku tersebut masuk nomine. 


Untuk buku yang hanya dipilih oleh satu juri, juri yang memilih buku tersebut juga diberi kesempatan untuk menyampaikan alasannya. Jika salah seorang juri tetap pada penilaiannya untuk tidak memasukkan buku tersebut sebagai nomine, buku tersebut tidak dapat dimasukkan ke daftar nomine. Prinsipnya, buku-buku yang masuk nomine, disetujui ketiga juri.


Ketiga, dengan berpegang pada daftar nomine buku yang dipilih tiga juri, jika jumlahnya lebih dari 20 buku, tahap selanjutnya diseleksi lagi menjadi 20 buku nomine. 


Dari 20 buku nomine itu, dipilih lagi enam buku yang dinilai berhak mendapat hadiah. 

Dari enam buku yang dinilai berhak mendapat hadiah, dipilih lagi satu buku yang pantas mendapat predikat Buku Puisi Terbaik Anugerah Hari Puisi Indonesia. Kelima buku yang lainnya masuk kategori Buku Puisi Pilihan. Adapun ke-14 buku yang tersisih, sebagai bentuk apresiasi, diberi predikat Buku Puisi Terpuji.

Demikian, dari ke-20 buku puisi itu, Dewan Juri memutuskan dan membaginya ke dalam tiga kategori: 


(1) Empat Belas Buku Puisi Terpuji Anugerah Hari Puisi Indonesia.

(2) Lima Buku Puisi Pilihan Anugerah Hari Puisi Indonesia.
(3) Satu Buku Puisi Terbaik Anugerah Hari Puisi Indonesia.

Dalam setiap tahapan pemilihan buku itu, masing-masing juri menyampaikan berbagai pertimbangan argumen penolakan dan persetujuannya. Prinsip wajib dipilih ketiga juri tetap menjadi dasar utama, meski harus melalui serangkaian perdebatan.


Kriteria Penilaian


Secara keseluruhan buku puisi yang mengikuti Sayembara Buku Puisi Anugerah Hari Puisi Indonesia menunjukkan kesungguhan penyairnya dalam mendesain, menyusun, dan menampilkan karyanya. Secara fisik, hampir semua buku puisi itu tidak mengesankan asal terbit atau sekadar tampil sebagai buku puisi. Dalam konteks ini, ada kesadaran dalam diri para penyairnya sendiri, bahwa buku puisinya merupakan anak kandung kreativitasnya yang mesti tampil meyakinkan: judul, pilihan huruf, desain cover, ilustrasi, penataan atau susunan puisi, dan segala ihwal bentuk fisik, sangat menarik. Jadi ada keseriusan penyair dalam proses penerbitan buku puisinya.



Meskipun demikian, titik tekan penilaian Sayembara Buku Puisi Anugerah Hari Puisi Indonesia adalah puisinya itu sendiri, tidak di luar perkara itu. Maka, objek penilaian yang utama adalah keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku sebagai satu kesatuan. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan dengan menggunakan kriteria atau parameter sebagaimana yang sudah disinggung di atas, penilaian dilakukan dengan memusatkan perhatian pada aspek kesatuan tematik, keterpaduan, dan kekuatan stilistika. Apakah ketiga aspek untuk memperlihatkan capaian estetik? Jawaban pertanyaan itulah yang coba dicari dewan juri dalam Sayembara Buku Puisi Anugerah Hari Puisi Indonesia.


Berikut disampaikan ketiga aspek yang muaranya jatuh pada capaian estetik.
Pertama, secara tematik puisi-puisi yang terhimpun menunjukkan satu wacana tertentu yang disampaikan dengan kesadaran pada konsep estetik. Jadi, buku puisi itu tidak cuma berisi sekumpulan puisi dengan berbagai tema dan cara pengucapannya, melainkan hadirnya sebuah wacana –atau tema besar—yang disampaikan dengan estetika puisi yang menggunakan media bahasa. Eksplorasi pada kekuatan bahasa yang kemudian menghasilkan metafora, paradoks, atau sarana puitik lainnya merupakan hal yang penting dalam penciptaan puisi. Dengan demikian, eksplorasi bahasa itu dapat mengangkat sebuah kata, atau kalimat, atau ungkapan dengan berbagai kekayaan maknanya. 

Kedua, kriteria lainnya yang menjadi dasar penilaian menyangkut keberkaitan dan keutuhan buku puisi itu dalam menyampaikan tema-tema puisinya. Bisa saja buku itu menghimpun berbagai tema, tetapi semuanya diikat oleh benang merah yang menghubungkan tema puisi yang satu dengan tema puisi yang lainnya. Jadi, meskipun tema yang diangkat berbagai-bagai, keseluruhannya membangun kepaduan atau koherensi. Adanya keberkaitan dan keutuhan itulah yang memungkinkan tema apa pun yang diangkat dalam sebuah buku puisi, ia tetap akan hadir sebagai totalitas, sebagai keseluruhan. Dengan begitu, buku puisi itu tidak hanya menunjukkan kekayaan tematik yang diangkat berdasarkan pengalaman sosial atau spiritual penyairnya, tetapi sekaligus juga menunjukkan kepiawaian penyairnya dalam memanfaatkan dan mengelola berbagai bahan itu menjadi puisi yang sebaik-baiknya puisi.


Ketiga, gaya pengucapan atau style dalam sebuah buku puisi sebenarnya merupakan ekspresi dan representasi kematangan estetik yang ditumpahkan penyair dari suatu fase proses kreatif kepenyairannya. Dalam fase tertentu, mungkin penyair gegar pada peristiwa bencana alam mahadahsyat yang tanpa disadarinya menggiring kegelisahannya untuk menumpahkannya dalam bentuk puisi. Tentu stylenya akan berbeda ketika penyair itu berhadapan kehidupan serbatenang manakala ia merenung di hutan atau di pesawahan. Mungkin juga ada kegelisahan masa lalu atas puaknya sendiri, masyarakat sekelilingnya atau bangsanya. Begitulah, kemampuan gaya pengucapan dan kekayaan style seorang penyair dapat terlihat sebagai sebuah fase proses kreatif yang sekian lama mengendap sebagai kegelisahan penyair. Style ini pada akhirnya akan menjadi kekhasan, gaya stilistika yang menjadi trade mark, ciri khas, karakteristik penyair yang bersangkutan. Kekhasan karakteristik itu biasa nempel begitu saja pada para penyair yang sudah matang. Mereka sudah teruji melalui pengalaman jam terbangnya yang sekian lama dan sudah malang-melintang dalam perjalanan kepenyairannya. Mereka tidak perlu lagi mencari-cari bentuk. 

Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, dewan juri memilih dan menetapkan lima Buku Puisi Pilihan Anugerah Hari Puisi Indonesia berikut ini (disusun secara alfabetis berdasarkan nama penyairnya).

1. Damiri Mahmud, Halakah Panggang, Medan: Obelia Publisher, Juli 2018, xi + 95 halaman.

2. Fakhrunnas MA Jabbar, Air Mata Batu, Yogyakarta: Basa Basi, Oktober 2017, 164 halaman.
3. Iman Budhi Santosa, Belajar Membaca Peta Buta, Yogyakarta: Interlude, Agustus 2018, vii + 79 halaman.
4. Sosiawan Leak, Sajak Hoax, Yogyakarta: Elmatera, Februari 2018, viii + 177 halaman.
5. Warih Wisatsana, Kota Kita, Denpasar: Yayasan Sehati, Agustus 2018, 116 halaman.

Secara umum kelima buku puisi tersebut di atas menegaskan kemampuan penyairnya dalam mengolah dunia persekitaran tentang perikehidupan dan fenomena sosial, pergerakan dan perkembangan budaya, sejarah dan tradisi masa lalu sebagai sumber inspirasi. Jadi, puisi yang dihadirkan para penyair itu, tidaklah datang dari kekosongan, juga tidak perlu jauh-jauh mengambil inspirasi dari dunia di entah-berantah. Kehidupan masyarakat di sekeliling, sejarah masa lalu, bahasa yang berkeliaran di hadapan, masa kanak-kanak, pengalaman perjalanan, atau apa pun adalah bahan dan sumber puisi. Persoalannya tinggal, bagaimana semua bahan yang bertebaran itu diolah, dikemas, dan disajikan kembali dalam serangkaian puisi yang menjelmakan sebuah wacana tertentu.


Kekuatan lain yang menonjol dari kelima buku puisi itu adalah kemampuan merevitalisasi tradisi budaya masa lalu. Petatah-petitih, peribahasa atau ungkapan-ungkapan yang hidup di masyarakat adalah model ekspresi yang dalam genggaman kreativitas penyair, jadi terasa lebih segar dan kontekstual. Sesungguhnya cara demikian merupakan bagian dari penggalian kekuatan dan kekayaan bahasa. Jadi, ada semacam pergerakan metamorfosis bahasa yang melahirkan bentuk lain yang lebih kreatif. Kosa kata masa lalu, idiom yang sudah terkubur lama atau bahasa sehari-hari yang muncul dari kalangan rakyat biasa, pedagang di pasar atau orang-orang pinggiran adalah juga bagian dari kekayaan bahasa kita. Ketika kata-kata itu dilesapkan secara tepat dalam larik-larik puisi, mereka seperti hidup kembali dengan ruh baru. Begitulah, kemampuan untuk menghidupkan kembali itu hanya mungkin dapat dilakukan oleh penyair yang punya kesadaran untuk mengeksplorasi potensi bahasa.


Tentu saja uraian selintasan ini belum mengungkapkan banyak hal atas kekuatan dan kedalaman makna yang terkandung dalam kelima buku puisi itu. Meski demikian, setidak-tidaknya, uraian ringkas ini dapat digunakan sebagai sinyal dasar argumen pertanggungjawaban dewan juri. 


Akhirnya, sampai juga pertanggungjawaban dewan juri pada Buku Puisi Terbaik Anugerah Hari Puisi Indonesia 2018 yang jatuh pada:


Dheni Kurnia, Bunatin (Jakarta: Mata Aksara, Agustus 2018, xxx + 206 halaman).


Bunatin tampil sebagai antologi puisi yang menegaskan bahwa puisi kerap memancarkan mukjizatnya. Kehadirannya sebagai buku yang menghimpun sejumlah puisi tidak datang dari ruang kosong, melainkan melalui proses panjang kegelisahan penyairnya tentang masa lalu, tradisi, dan kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkannya. Ia menjadi sumber, sekaligus muara ketika masa lalu dengan segala tradisi dan kebudayaannya itu dimaknai dalam konteks masa kini. Dan puisi yang menjadi alat ucapnya seperti aliran sungai yang bercabang-cabang, tetapi datang dari satu sumber mata air, lalu berlabuh pada satu muara. Maka, dalam perspektif masa kini, Bunatin sebagai simbol masa lalu yang terus berkelindan dalam proses perjalanan kehidupan penyair, bisa hadir menyusup sebagai realitas sosial, melayang-layang sebagai bayangan, atau wujud sebagai harapan yang tak kesampaian.


Kelebihan dan kekuatan antologi itu, tidak berhenti pada kemampuan penyair mengangkat dan menerjemahkan sensasi masa lalu atau usaha menggali dasar kehidupan tempat penyair berasal, melainkan pada keterampilannya mengeksploitasi kekayaan khazanah seni bahasa dalam tradisi lisan menjadi puisi yang sesuai dengan tuntutan zaman. Permainan sarana puitik dalam antologi Bunatin ini, tidak hanya menjadi sumber kekuatan dan kedalaman puisi-puisi Dheni, melainkan juga menegaskan kecerdasan penyairnya dalam memperkaya daya ucap perpuisian Indonesia. Mantra, syair, pantun, bidal, petatah-petitih, dan segala bentuk ekspresi dalam tradisi lisan, menjelma puisi yang menawarkan pemerkayaan bahasa Indonesia.


Ada sedikitnya tiga hal yang boleh dikatakan sebagai sumbangan penting antologi ini, yaitu: (1) Revitalisasi tradisi sebagai sumber kekayaan sastra dan bahasa Indonesia. Lewat antologi itu, sastra (: puisi) Indonesia seperti diingatkan kembali pada kekayaan masa lalunya. Mengingat medium puisi tidak lain adalah bahasa (Indonesia), maka antologi ini laksana menegaskan kembali kualitas bahasa (Indonesia) yang pada dasarnya inklusif, luwes, dan lentur. (2) Eksploitasi bahasa yang hidup di masyarakat masa lalu penyair, berhasil dilesapkan dalam ekspresi puisi yang mengangkat problem masyarakat masa kini. Ia tidak wujud sebagai tempelan, melainkan sebagai kekhasan stilistika yang membangun kekayaan sarana puitik menjadi lebih berbagai. Sebagai sebuah totalitas, antologi puisi ini dapat dimasuki lewat segala arah. (3) Kemampuan menghadirkan dimensi waktu yang berkaitan dengan ruh budaya sebagai permainan tematik, sehingga menjadi sebuah wacana kultural.


Meski uraian ini terlalu ringkas, setidak-tidaknya ia dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan pilihan dewan juri menempatkan antologi puisi Bunatin sebagai Buku Puisi Terbaik Anugerah Hari Puisi Indonesia 2018.


Bagaimanapun, keputusan dewan juri tentulah tidak dapat memuaskan semua pihak. Apalagi dalam perkara puisi yang di sana terbuka peluang menghadirkan tafsir lain dengan penilaian yang juga akan lain. Meskipun demikian, pilihan dewan juri tidaklah bertumpu pada subjektivitas. Ada alat ukur yang digunakan. Ada kriteria penilaian yang mendasarinya. Oleh karena itu, apa pun hasilnya, sikap dewan juri dalam memutuskan dan menetapkan pemenang Sayembara Buku Puisi Yayasan Hari Puisi 2018 ini, semata-mata berdasarkan penilaian objektif.


Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan sayembara buku puisi atau buku sastra pada umumnya, hanya Sayembara Buku Puisi Yayasan Hari Puisi yang menyampaikan pertanggungjawabannya.


Jakarta, 29 Desember 2018


Atas nama Dewan Juri

Abdul Hadi WM (Ketua merangkap Anggota)
Sutardji Calzoum Bachri (Anggota)
Maman S. Mahayana (Anggota)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.