Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Situasi Kritik Sastra Indonesia Sampai Dewasa Ini - Kusdiratin

Situasi Kritik Sastra Indonesia Sampai Dewasa Ini - Kusdiratin

Situasi Kritik Sastra Indonesia Sampai Dewasa Ini
oleh Kusdiratin


Situasi Kritik Sastra Indonesia Sampai Dewasa Ini - Kusdiratin

“Kita sukar untuk menemukan bagaimana teknik menikmati hasil sastra itu sebenarnya,” kata A.M. Slamet Soewandi. Kemudian dilanjutkan: ”Untuk sampai kepada apresiasi memerlukan teknik. Dan teknik ini teknik apresiasi. Sampai sekarang penuntun ke teknik itu belum ada.” (Sinar Harapan, Senin, 1 Mei 1972). 

Disebabkan oleh tidak adanya teknik itu, maka para pecinta karya sastra mencari jalan sendiri-sendiri guna mencapai tujuan. Dari sekian jalan yang ditempuh, salah satu di antaranya mereka ada yang mengikuti hasil kerja para kritikus. Tanpa memperhatikan proses-proses yang (dialami oleh kritikus dipelajarinya hasil kerja yang berada di hadapannya. Pengetahuan yang diperoleh dari kerja kritikus itu kemudian dipergunakan sebagai bahan persepsi untuk menghadapi setiap karya sastra. Pada hal yang mereka peroleh tadi bukan cara yang umum yang dapat diterapkan pada setiap karya sastra. Bukan pula teknik umum yang dapat dipergunakan untuk menikmati (maupun menilai setiap karya sastra.

Cara demikian akan mengakibatkan mereka terbelenggu oleh pola pemikiran konvensional. Mereka tidak dapat melihat masing-masing karya sastra dalam keadaannya yang sebenarnya. Hal ini pulalah yang mengakibatkan adanya orang-orang terjebak, tidak dapat mengetahui keunikan masing-masing karya sastra, dan adanya sikap-sikap menyamaratakan saja dan sebagainya. Kritikus ini dapat saja memberikan kritik-kritik terhadap karya sastra dengan tidak menikmati karya sastra terlebih dahulu. Pendapat-pendapatnya berdiri di atas pendapat kritikus lain. Maka sikap demikian akan memperlebar jurang pemisah antara karya sastra dan peminat sastra. Dengan sendirinya ini akan menghambat pula perkembangan kesusastraan, terutama di bidang penciptaan.

Kategori lain yakni kritikus yang mengadakan kritik karena adanya penikmatan, dan mereka mengkritik karya sastra yang dinikmatinya sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya. Apakah yang dapat kita peroleh dari kerja mereka? Kita melihat adanya uraian yang diakhiri dengan kesimpulan pendapat mengenai karya sastra yang dinikmati. Uraian itu sebenarnya hanyalah argumentasi saja, yakni alasan untuk mempertanggungjawabkan kesimpulan tersebut. Adapun kesimpulan itu pada hakikatnya ialah nilai yang diberikan kritikus kepada karya sastra. Jadi yang kita peroleh nilai dan argumentasi dari karya sastra yang dinikmati kritikus. Sudah barang tentu hasil kerja tersebut tidak bisa dipandang sebagai cara atau teori untuk mengkritik atau menikmati karya-karya sastra. Maksimum hasil tersebut hanya dapat kita pergunakan untuk bahan perbandingan saja. 

Mengenai berbagai metode (misalnya metode analisa) yang dipergunakan oleh kritikus, fungsinya hanyalah sebagai alat saja untuk memberikan pertanggungan jawab dan bukan untuk menilai maupun menikmati karya sastra. Metode-metode tersebut dimanfaatkan ketika kritikus mulai memberikan argumentasi guna memperkuat kesimpulan pendapatnya. Nilai dari keseluruhan karya sastra tidak dapat dicari dengan menggunakan metode-metode itu, karena nilai tersebut bisa diketemukan hanya dengan mengadakan penikmatan terhadap karya sastra dalam keadaannya yang utuh. 

Maka menjadi jelas bagi kita, bahwa kelemahan-kelemahan metode analisa seperti yang sering dikemukakan orang, bukanlah kelemahan yang secara implisit melekat pada metode analisa sehingga dengan munculnya i20ri-teori baru metode tersebut harus masuk museum, tetapi kesalahan-kesalahan itu terutama terdapat pada person-person yang memanfaatkan metode itu. 

Berbeda dengan kritik jenis pertama, kritik kedua akan berpijak langsung kepada karya sastranya dan berbicara menurut keadaan karya sastra itu saja. Maka kritik ini dapat memperbesar kecintaan orang pada karya sastra khususnya, pengetahuan kesusastraan umumnya.

Mengapa kita, apabila melihat suatu kritik (terutama yang tertulis) dihadapkan pada suatu uraian dan kemudian kesimpulannya, kadang-kadang kita menjadi gelisah? Sebetulnya itu hanyalah masalah penuturan saja dan hal itu terserah. kepada selera masing-masing. Kalau mengingat bahwa nilai hanya dapat kita peroleh setelah mengadakan penikmatan dan metode-metode adalah alat saja untuk memberikan argumentasi, tentunya kita tidak perlu berantusias mengatakan: “Jika mengadakan kritik orang harus menuliskan nilainya dahulu kemudian analisanya, atau orang harus menganalisanya dahulu baru kemudian menuliskan kesimpulannya.” 

Memang kritik kita saat ini sedang gelisah. Bagaikan mobil di tengah perjalanan yang di dalamnya terdapat beberapa orang sopir tua dan muda sedang membicarakan mobil itu sebaiknya lewat jalan mana. Masalah timbul berhubung beberapa di antara sopir mengetahui jalan-jalan baru. Seorang sopir menghendaki agar mobil berjalan lewat sini. Sopir yang lain berkeras mobil harus lewat jalan sana, jangan sampai lewat jalan yang biasa dilalui karena jalan itu begini, begitu dan sebagainya. Kemudian sopir yang sejak tadi menjadi pendengar mengemukakan pendapat sebetulnya kita bisa saja mempergunakan jalan yang lama. Hanya saja untuk mengikuti perkembangan kebutuhan, jalan tersebut harus diperlebar, diperlicin dulu. Juga perlu diadakan peraturan bahwa' jalan itu hanya untuk satu arah. Selama terjadi pertentangan pendapat, sopir yang memegang setir terus menjalankan mobil itu pada jalan semula, walau perlahan-lahan serta kadang-kadang berbelok ke sana ke mari, dan sebagainya. 

Demikian kritik sastra kita sampai saat ini. Kritik itu terus berjalan dan fakta berbicara bahwa metode analisa tidak dapat ditendang keluar dari arena kritik sastra. Di samping itu "teori-teori kritik baru” terus muncul satu persatu. Pertanyaan: Tidak adakah cara yang lebih tepat untuk memasukkan teori-teori baru itu ke dalam khasanah kritik sastra Indonesia? Atau kita boleh begitu saja memasukkan teori-teori baru itu sekehendak kita sendiri? Kita mesti bisa memikirkan akibat dari bermacam-macam cara pemasukan itu.

Misalnya saja teori kritik seni Ganzheit. Arief Budiman mengatakan: ”Dia hanya ingin menangkap suatu momen dalam suatu proses penghayatan seni. Tapi momen itu sangat penting bagi arti selanjutnya penilaian, karena bila momen itu terganggu maka suatu dialog yang adil tidak akan terjadi:

Dan bila dialog ini tidak terjadi, maka penilaian karya seni akan sangat berbeda hasilnya. Sesudah dialog ini diselamatkan, maka tidak penting lagi bentuk pengucapan kritik, apakah sifatnya analitis atau deskriptif atau lainnya lagi.” (Sinar Harapan, Senin, 23 Oktober 1972).

Dari tulisan Anef yang dimuat di koran tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa perhatian teori kritik Ganzheit terutama dititikberatkan pada langkah penikmatan. Sebetulnya hal tersebut bukanlah hal baru bagi kritikus jenis ke-lI, bahwa satu-satunya jalan untuk menilai karya sastra, orang harus menghayati karya sastra tersebut dalam keadaannya yang utuh terlebih dahulu di dalam proses penikmatan, secara otomatis kritikus telah membakukan ukuran-ukuran yang ada padanya. Bila tidak, bagaimana bisa terjadi penghayatan? 

Tentang penggunaan metode analisa dalam kritik sastra, Ganzheit pun pada akhirnya tidak menolak. Tetapi pada saat-saat permulaan ia hanya menunjukkan kelemahan-kelemahan analisa, sehingga tampak seolah-olah keduanya bersimpang jalan. Lebih dari itu, dengan munculnya teori kritik Ganzheit seakan-akan metode analisa harus masuk museum karena dipandang sudah tidak mampu lagi mengikuti perkembangan. Dan sebagai gantinya adalah metode Ganzheit itu sendiri. Padahal apabila kita mengikuti keterangan-keterangan Arief Budiman dan Goenawan Mohamad, teori tersebut bukanlah teori kritik, lebih tepat dimasukkan dalam kategori teori penikmatan atau penghayatan, karena pembicaraannya terutama mengenai langkah tersebut. Sedangkan metode analisa termasuk dalam kategori metode kritik. Kritik berlangsung setelah penikmatan. Jadi kedua teori itu fungsinya berbeda, tetapi mempunyai hubungan kausal yang sangat erat. Karena fungsi yang berbeda maka yang satu tidak dapat menggantikan yang lain, dan dengan adanya hubungan kausal justru yang satu membutuhkan yang lain. 

Tentunya kegelisahan kritik sastra Indonesia dapat berkurang jika orang dapat menempatkan teori-teorinya pada proporsi yang tepat di dalam kesusastraan Indonesia ini. Kemudian kapan dan bagaimana pengeterapan teori tersebut itulah yang penting dijelaskan. Penjelasan harus diberikan dengan cara yang baik pula, sebab apabila disertai pandangan-pandangan yang tidak tepat justru memperkalut situasi kritik saja. 

Kuntowijoyo mengatakan, ”Metode Ganzhcit lebih melihat nilai extrinsic sastra dengan mengukur efek sastra itu bagi penikmat.” (Horisom No. 12, Desember 1972, th. ke VII, him. 367). Betulkah demikian? 

Arief Budiman menulis: “Inilah justru yang merupakan titik sasaran serangan kritik Ganzheit penghayatan seni tanpa suatu peleburan diri yang total” (Sinar Harapan, 23 Oktober 1972). Perhatikan juga pendapat Arief yang dikutip di depan. Yang menjadi titik perhatian Ganzheit bukan efek sastra bagi penikmat, tetapi efek penghayatan seni bagi karya seni itu sendiri. Sikap penghayatan yang kurang benar akan merusak prinsip utama karya sastra, yakni bahwa dia adalah satu keutuhan dan di dalam menghayatinya keutuhan itu harus tetap dipelihara. 

Oleh karena itulah Arief Budiman menekankan agar seorang kritikus ketika dia menghadapi suatu karya seni, dia harus membekukan ukuran-ukuran yang ada padanya, dengan maksud dalam momen-momen yang sifatnya sementara yakni pada momen penghayatan. demi menjamin keutuhan karya tersebut. 

Demikianlah situasi kritik sastra Indonesia belum mengizinkan orang memasukkan teori-teori kritik baru dengan begitu saja, tanpa memperhatikan fakta-fakta di dalam kehidupan kritik itu sendiri. Tingkat kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kesusastraan belum setinggi negara-negara lain, itulah salah satu kemungkinan sebabnya.***

Jember, 1973

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.