Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Jakarta, Kota Budaya - Ali Audah

Jakarta, Kota Budaya - Ali Audah

Jakarta, Kota Budaya
Oleh Ali Audah




KAWACA.COM |  Lebih dari seperempat abad yang lalu pembangunan fisik kota Jakarta secara terencana sudah dimulai. Daerah-daerah rawa, perkebunan, tanah kosong dan perkampungan, sudah didatangi traktor-traktor berat, dan dalam waktu singkat sudah berubah menjadi gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi. Bangunan itu untuk keperluan perkantoran, hotel, toko dan lembaga pemerintah dan swasta. Bersamaan dengan itu pembuatan jalan raya dan taman-taman hiasan kota, di samping taman-taman hiburan pun serentak dibangun pula. Dan sampai sekarang masih berlangsung, dan masih akan diteruskan tentunya. 

Wajah kota Jakarta seperempat abad yang lalu itu sudah jauh berubah dibandingkan dengan sekarang. Bukan hanya terlihat dari pembangunan fisiknya saja, tapi juga suasananya. Sebagai kota metropolitan dan Ibu Kota R.I. sudah sepatutnya Jakarta berdandan dan berbenah diri demikian, dengan tidak melupakan bahwa Jakarta juga kota budaya. Hampir semua kegiatan subkultur dan ragam kebudayaan daerah dalam bentuk-bentuk kesenian dan adat, dapat dikatakan terwakili di kota ini, termasuk kesenian Betawi sendiri yang dengan adanya perkembangan teknologi sekarang, juga sudah banyak dikenal di daerah-daerah lain. 

Jika kita mengambil perbandingan adanya kegiatan pembangunan fisik itu dengan perkembangan kesenian yang tumbuh dari masa ke masa, masih terasa belum seimbang. Jauh sebelum Pusat Kesenian Jakarta atau Taman Ismail Marzuki itu berdiri hampir dua puluh tahun yang lalu, kegiatan kesenian dan para seniman sebagian besar terpusat di Balai Budaya. Malah kemudian sekretariat BMKN pun bertempat di pojok sebelah kanan gedung sederhana itu. Para seniman, di samping  berkeliaran di Senen, mereka juga sering berkumpul di gedung tua ini, yang sampai sekarang tetap setia tanpa mengalami perubahan apa-apa, dan tetap menjadi tumpuan seniman dan karyanya. Lepas dari soal perlu tidaknya gedung bertuah ini dipugar, tapi untuk memintanya menjadi saksi sejarah pertumbuhan budaya di Jakarta, sudah sepatutnya di depan gedung yang sangat rendah hari dan setia ini didirikan sebuah monumen seni yang yang akan bisa berbicara kepada sejarah dan kepada kita tentang perjuangannya yang sejalan dengan pahit getirnya perjuangan bangsa waktu itu. 

Bertolak dari pikiran ini, Ibu Kota yang sudah dipadati oleh perbagai bentuk bangunan fisik itu, yang terasa masih lengang di sana sini ialah amat sedikitnya monumen-monumen besar nasional di samping monumen-monumen seni dan seniman yang berarti. Kita bersyukur di kompleks Taman Ismail Marzuki sudah berdiri masjid Amir Hamzah dengan mengambil nama penyair Amir Hamzah, dan kemudian dipasang pula patung komponis Ismail Marzuki di halaman depan. Sedang di sekitar Monumen Nasional yang menjulang tinggi itu, sudah ada pula monumen seniman yang dicerminkan oleh penyair Chairil Anwar. 

Jakarta akan disebut kota budaya, apabila begitu orang keluar dari stasiun Kota atau stasiun Gambir, atau di mulut jalan bandara Soekarno—Hatta, atau lalu di Senayan, di Senen, di sepanjang Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman, atau di mana saja yang kita pandang tepat—tampak menyambut kita monumen besar karya seniman Indonesia. Jika itu berupa monumen seni atau seniman yang kebetulan senimannya berasal dari daerah lain di Indonesia, tetap akan menjadi kebanggaan daerah bersangkutan, selain menjadi kebanggaan nasional tentunya. Tidak terbatas hanya di Jakarta, di kota-kota lain di Indonesia pun, sesuai dengan keperluan setempat, tentu juga dapat ditempuh jalan serupa. Monumen-monumen itu akan menjawab pertanyaan: kita ini siapa?

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.