Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Para Pencipta Tradisi - Budi Darma

Para Pencipta Tradisi - Budi Darma

Para Pencipta Tradisi
oleh Budi Darma



Marilah kita bayangkan, ada seorang pengarang terkemuka bernama Nirdawat. Kalau kita memergokinya sedang menulis, tentu dia akan terperanjat, kemudian tersipu-sipu malu. Dia akan merasa dirinya hanyalah seseorang yang bodoh. Memang dia menulis, akan tetapi dia tidak sadar mengapa dia menulis. Mengenai apa yang ditulisnya, dia sendiri juga tidak tahu. Apa yang ditulisnya ternyata datang demikian saja, tanpa direka-reka sebelumnya. Dengan perasaan malu terhadap orang luar, akan tetapi dengan perasaan gusar terhadap dirinya sendiri, dia mengaku bahwa dia hanyalah objek sesuatu yang tidak diketahuinya sendiri untuk mengatakan sesuatu yang tidak pernah diduganya sendiri.

Ternyata menulis dan berbicara baginya sering sama. Karena itulah dia sering terperanjat membaca kata-katanya sendiri yang banyak dikutip orang, menelusup ke dalam buku-buku, bertebaran dalam koran dan majalah, dan bahkan mengendon di dalam pita-pita kaset. Dia sering heran mengapa dia pernah berkata demikian, sama herannya mengapa dia pernah menulis mengenai apa yang pernah ditulisnya. Tapi dia diam, menganggap bahwa semuanya timbul semata-mata karena kebodohannya. Dia menulis karena bodoh, dia berbicara juga karena bodoh. 

Maka, dengan perasaan bodoh pula dia memasuki Studio Radio Suara Malaysia, ketika pada suatu hari dia diundang ke sana. Dia tahu bahwa dia akan diwawancarai, dan dia sudah pula melihat daftar pertanyaan-pertanyaannya. Tapi sebagai seseorang yang merasa dirinya bodoh, dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya nanti. Dia hanya menyerahkan nasibnya kepada sesuatu yang tidak diketahuinya sendiri, yang sering memanipulasinya pada waktu dia menulis. Maka wawancara pun berjalan, dan berloncatanlah kata-kata dari mulutnya yang tidak dia ketahui sendiri apa maknanya. Tentu saja dia sendiri tidak tahu mengapa dia mengeluarkan kata-kata itu, dan bukan kata-kata lain. Entah mengapa, dalam wawancara itu akhirnya dia berkata: "Pengarang yang baik adalah pengarang yang dapat menciptakan tradisi. Tapi tunggu dulu. Untuk dapat menciptakan tradisi, seorang pengarang tentu mempunyai gagasan yang orisinal. Ketahuilah, tradisi hanya dapat dicipta dengan gagasan-gagasan demikian. Kecuali itu, pengarang ini juga mempunyai kepribadian yang kuat. Tanpa kepribadian yang kuat, pengarang hanya sanggup menulis kata-kata yang akhirnya tanpa makna." 

Barulah setelah rekaman wawancara ini diputar kembali, dia terperanjat bukan main. Tapi dia tahu bahwa tidak mungkin dia mencabut kembali kata-katanya, dan dia juga tahu bahwa beberapa jam kemudian suaranya sudah akan diudarakan. Maka dia pun merasa makin bodoh. Tapi begitu dia meninggalkan studio bersama seorang pegawai tinggi Republik Indonesia yang menyertai perjalanannya, dia sudah lupa apa yang dikatakannya tadi.

Waktu berjalan terus, dan akhirnya nasib buruk membawa Nirdawat terbang ke Amerika. Dia mendapat lagi undangan untuk ke sana, yang tidak mungkin ditolaknya. Pada suatu hari, tanpa maksud yang jelas dia memasuki sebuah perpustakaan. Seperti halnya pada waktu dia menulis dan berbicara, dia berjalan dari ruang ini ke ruang itu, naik ke tingkat sekian kemudian turun ke tingkat lain, sampai akhirnya dia terjebak di sebuah ruangan yang benar-benar memikat hatinya. Maka secara sembarangan dia mengambil sebuah buku, yang pernah dibacanya beberapa tahun yang lalu ketika dia berkunjung ke kota lain juga di Amerika. Beberapa tahun yang lalu, ketika dia membaca buku yang sama, dia gusar: "Bangsat! Sesuai dengan dugaan saya, orang yang dianggap dramawan itu menjiplak dari sini." 

Buku ini mengenai kehidupan drama di New York. Dia tahu bahwa di tanah air ada seseorang yang oleh umum dinamakan dramawan, dan oleh umum dilemparkan ke langit untuk dipuja-puja. Orang yang oleh umum dianggap dramawan ini memang menarik. Dia mempunyai karisma yang kuat, dapat bermain dengan baik, dan dapat menjadi sutradara yang kuat dan berwibawa. Akan tetapi, kemampuan lainnya hanyalah menyadur naskah. Selanjutnya dia hanya menjiplak cara-cara sutradara di New York menggarap naskah. Dan Nirdawat tahu, seorang dramawan yang tidak mampu menulis naskah sendiri akhirnya akan meluncur ke dunia kambing, bahu-membahu dan bersatu kelas bersama kambing. 

Sekarang Nirdawat memegang buku yang sama, dan mengutuk lagi. Dia tahu bahwa di tanah air orang yang dianggap sebagai dramawan ini sudah menciptakan tradisi tersendiri dalam kehidupan drama. Tapi dia juga tahu, bahwa tradisi ini dibentuk atas biasan gagasan orang lain. Sebagai orang yang merasa dirinya bodoh, tentu saja Nirdawat tidak mau menuduh orang yang dinamakan dramawan itu pencuri. 

Peristiwa singkat di perpustakaan ini tidak berhenti di sini. Akan tetapi baiklah kita singkat saja, sebab tidak ada gunanya kita membayang-bayangkan sekian banyak contoh kalau toh polanya sama. Demikian: di tanah air ada seorang eseis yang kata orang terkemuka. Eseis ini menulis sebuah esai dengan judul yang kocak, akan tetapi gegabah bagi orang yang tahu sumbernya. "Potret Kencong Si Seniman Sebagai Pencuri", demikianlah judul esai itu. 

Nah, pada waktu berjalan-jalan di perpustakaan itulah Nirdawat menemukan buku lain, yang juga sudah pernah dibacanya beberapa tahun yang lalu. Beberapa tahun yang lalu buku ini juga memancing kegusarannya. Judul buku ini sederhana, yaitu Portrait of an Artist as a Doddering Man, alias Potret Seorang Seniman Sebagai Orang Buyuten. Pintalan kata-kata dan pikiran orang yang dianggap umum sebagai eseis di Indonesia itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah bias buku ini. Dan dia tahu benar, bahwa orang yang dianggap sebagai eseis ini telah membentuk sebuah tradisi tersendiri dalam penulisan esai di Indonesia. 

Dia tidak terperanjat ketika dia menemukan sebuah sajak yang juga menimbulkan rasa geram baginya beberapa tahun sebelumnya. Sajak ini berjudul "Ode to a Grecian Plate", alias "Oda untuk Sebuah Piring Yunani". Dia tahu benar, bahwa di tanah air sudah sekian lama terbentuk sebuah tradisi penulisan puisi berdasarkan sebuah sajak berjudul"Kwatrin Sebuah Poci Tanpa Tutup". Sajak ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah bias sajak mengenai piring Yunani itu. Seperti biasa, dia diam. 

Sebagai seorang pengarang terkemuka, tentu saja Nirdawat sendiri sudah membentuk sebuah tradisi. Dia tahu benar betapa banyak orang yang menirukan tulisan-tulisannya. Seperti biasa dia diam, dan tidak terperanjat. Barulah dia terperanjat, ketika pada suatu hari nasib buruk membawanya ke Negeri Belanda. Dia diundang ke sana tanpa bisa mengelak. Di sana dia menemukan sebuah buku yang antara la membicarakan dirinya. Memang buku ini memuji-muji dia, akan tetapi sekaligus membandingkan cerpennya berjudul "Kritikus Anting-Anting" dengan sebuah novel Austria. Dia tahu pasti bahwa dia mengagumi Pafpof, pengarang novel ini, akan tetapi dia tidak pernah merasa dipengaruhinya. Justru cerpen "Kritikus Anting-Anting" inilah yang telah membentuk tradisi tersendiri dalam penulisan cerpen di Indonesia. Akan tetapi, sebagai seseorang yang tidak suka mempedulikan ini dan itu, dia pun segera melupakan pengalaman ini. 

Maka, beberapa tahun kemudian dia diundang lagi ke Amerika. Kali ini dia tinggal di sebuah kota bernama Skokane. Di samping mengerjakan ini dan itu, setiap hari dia menyisakan waktu untuk berjalan-jalan. Cuaca baik maupun badai salju baginya sama saja. Pernah juga dia akan diringkus polisi, ketika dia sedang kepergok berjalan-jalan menjelang badai salju menderu, yang ternyata berdasarkan ramalan cuaca yang keliru. Demikianlah, akhirnya dia mengenal kota ini bagaikan dia mengenal garis-garis sidik jarinya sendiri. 

Di luar dugaannya sendiri, dia dapat menyelesaikan sebuah kumpulan cerpen. Tentu saja dia menulis asal menulis. Setelah pulang ke tanah air, dia menerbitkan kumpulan ini dengan judul Para Manusia Skokane. Tentu saja dia memberi judul demikian asal memberi judul saja. Dan seperti biasanya, dia cepat melupakan tulisan-tulisannya sendiri. Barulah setelah cetakan percobaan buku itu jadi, dia terperanjat. Dia ingat benar, bahwa seorang penulis Skotlandia pernah menulis buku berjudul Para Manusia Skotlandia. Seperti halnya buku Nirdawat sendiri, buku pengarang ini juga rangkaian cerita mengenai kehidupan di sebuah kota di Skotlandia. Dalam keadaan naskah sudah menjadi cetakan percobaan, tentu saja dia tidak dapat menarik kembali naskahnya. Seperti biasa, dia segera melupakan tulisan-tulisannya. Buku Para Manusia Skokar beredar. Dia juga tidak terperanjat melihat bukunya berpengaruh luas, dan akhirnya membentuk sebuah tradisi tersendiri dalam penulisan cerpen.

Ternyata dia tergeret lagi oleh sebuah undangan ke Kuala Lumpur. Kembali dia tergaet ke studio yang sama. Penyiar yang mewawancarainya dahulu sudah tidak bekerja di sana. Sementara itu penyiar baru sudah siap mewawancarainya. Entah mengapa, dia kembali berkata, bahwa pengarang yang baik adalah pengarang yang dapat menciptakan tradisi. Pengarang semacam ini mau tidak mau mempunyai gagasan yang orisinal. Dan pengarang ini juga mempunyai kepribadian yang kuat. 

Dia tidak sadar, bahwa ucapannya hanyalah pengulangan katakatanya sendiri beberapa tahun yang lalu. Setelah rekamannya diputar kembali barulah dia sadar. Dia tersipu-sipu, geram akan kebodohannya sendiri. Akan tetapi dia segera melupakan kebodohannya ini, karena dia harus segera mengunjungi beberapa universitas di kota itu. 

Dia terperanjat kembali, sebab sebuah surat sudah menunggu di meja kerjanya ketika dia kembali ke tanah air. Surat ini dari seseorang yang belum dikenalnya di Köln. Setelah memperkenalkan dirinya, penulis surat itu mengungkapkan maksudnya dengan kata-kata sederhana seperti kata-kata telegram: "Saya mengagumi Anda. Saya akan menulis referat mengenai cerpen Anda 'Kritikus Anting-Anting' untuk Seminar Alam Pikiran Oriental di Universitas Köln, tiga bulan yang akan datang. Saya akan membandingkannya dengan novel Herr Joseph Karabish, karya Pafpof. Saya juga pengagum Pafpof." 

1981

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.