Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Air Mata Jakarta - Levina Vita Damayanti

Air Mata Jakarta - Levina Vita Damayanti

Air Mata Jakarta

Levina Vita Damayanti

 


Inilah kota yang penuh dengan caci maki sekaligus dipuji. Saat itu aku akan berbangga diri telah menginjakkan kaki disini. Padahal aku tahu, kota ini banyak yang mengenakan topeng, berusaha menawan, tetapi ingin menjatuhkan yang lain. Beratus-ratus tahun yang lalu, kerap banyak sekali bait-bait yang mengisahkan kota ini.

“Coba ceritakan tentang banjir yang melanda suatu kota!” perintah perempuan yang memakai seragam berwarna cokelat itu.

Hujan yang kerap sekali turun dan tak kunjung berhenti. Hujan bagikan monster yang memiliki kekuatan raksasa yang sangat besar. Membuatku mendadak malas kemana-mana. Padahal dulu, aku sangat senang bila hujan turun karena aku bisa bermain bersama teman-teman. Walaupun ibu sudah meneriaki bahayanya hujan, tetapi aku terus bermain di bawah hujan.

Hujan? Ah, tunggu sebentar, bukan hujan semacam ini. Hujan yang selalu datang tiada henti. Ketika hujan memberontak dan menciptakan lautan. Dan sekejap aku teringat Jakarta. Aku teringat jalan-jalan, gang, atau impitan rumahnya. Aku mengingat beton-beton tajam terus melubangi tanahnya. Gedung-gedung tumbuh lebih tinggi dari pohon-pohon yang kekar di hutan. Rumah-rumah kayu triplek, dengan balok kayu berbaris di sepanjang Sungai Ciliwung. Tak ada lagi rawa, empang, atau sawah. Para pribumi tergusur, mengungsi dan mendiami pinggiran Jakarta.

Sudah cukup aku ingin kembali ke rumah dan bertemu dengan teman-teman lama dan bercengkrama dengan mereka. Tiba-tiba aku tersentak karena ada seorang perempuan berseragam cokelat menungguku di rumah.

“Mana cerita banjirnya?” tanya perempuan itu. Dia adalah guruku. Aku dan dia bekerja sama karena aku berniat akan membuat novel tentang kota ini dan dia mengusulkan cerita tentang banjir yang melanda kota. Namun, aku belum memiliki ide cerita dan sore ini dia datang ke rumah menagih ceritaku.

“Banjir itu terlalu sedih untuk diceritakan.” Jawabku sambil menunduk.

“Tolonglah… aku masih bersedia membantumu sebelum aku berubah pikiran.” Ujarnya.

Hujan turun lagi dengan deras. Mungkin aku terbiasa untuk keluar waktu kecil untuk segera mandi hujan. Orang-orang mulai mengembangkan payung warna-warninya. Adakah aku di salah satunya? Hujan lebih menderas lagi memenuhi setiap kubangan dan celah-celah kosong. Sepertinya hujan akan terus berbagi pada siapa pun. Mungkin juga aku. Hujan menerjang tentang apa saja tanpa ampun, tidak bisa bersembunyi. Air pun tumpah, tanggul jebol. Orang-orang berteriak panik. Air terus meninggi. Dari semata kaki, lutut, pinggang, dada dan akhirnya merendam semua. 

Suara bayi menangis. Perahu karet yang hilir mudik. Pelampung. Kecemasan datang mendadak bertubi-tubi. Mobil-mobil terendam. Tangis yang kembali pecah. Berduyun orang-orang berlari, melangkah ke tempat dataran yang lebih tinggi. Waktu terasa sebuah karet yang longgar. Kedodoran dan terus berputar. Tangis yang kembali pecah. Berduyun orang-orang berlari. Melangkah ke tempat yang tinggi. Ada lansia di dalam rumah, terjebak di dalam. Air terus meninggi. Dua meter. Tiga meter. Berita terus mengaung mengabarkan berita terkini tentang banjir. Aku sempat melihat tanggal yang ada di Televisi yang menunjukkan tahun 2040.

Tiba-tiba ada yang memanggil namaku dan menggerak-gerakkan kakiku. Aku pun terbangun dan mengusap mataku. Ternyata aku hanya bermimpi, ibu membangunkanku untuk shalat subuh.

“Dani bangun! shalat, Nak!” perintah ibuku yang kubalas anggukan.

Selesai shalat, aku merenungkan  mimpiku tadi. Apakah pada tahun 2040 akan terjadi banjir besar?Apa dikarenakan oleh kepadatan penduduk? Aku terus memikirkannya.

“Assalamualaikum.” Teriak seseorang di depan rumahku. Aku dan ibuku segera keluar.

“Wa’alaikumsalam, eh ada Uni, ada apa Uni?” Tanya ibuku.

“Ambo bikin rendang, ini buat kau.” Katanya sambil menyerahkan kotak makan yang berisi rendang.

“Wah makasih, Uni.” Ujar ibuku. Aku masuk ke dalam rumah sedangkan ibuku dengan Uni masih mengobrol sebentar.

Keesokan harinya, aku berjalan sambil menghirup udara pagi. Aku melihat banyak orang yang memulai aktivitasnya masing-masing. Namun, semua orang hanya fokus pada gadget yang digunakan. Mereka tidak peduli dengan keadaan sekitar. Membuang sampah sembarangan, melanggar lalu lintas, dan masih banyak lagi yang dilakukan tanpa memperhatikan resikonya.

Aku berjalan menyusuri trotoar, di pinggir trotoar banyak para pengemis dan pedagang kaki lima. Tiba-tiba datang Satpol PP dan merazia para pedagang dan pengemis yang berada di trotoar. Para pedagang buru-buru merapikan barang dagangannya, tetapi bagi yang tidak sempat merapikan barangnya maka Satpol PP akan mengambil barang dagangannya. Mereka memohon-mohon agar barang dagangannya dikembalikan. Namun, sia-sia Satpol PP tidak mendengarkannya. Sesampainya di lampu merah aku melihat banyak pengamen. Aku menaiki bajaj langgananku.

“Hai, Encang, bagaimana kabarnya?” ujarku membuat seorang bapak-bapak paruh abad itu sedikit terkejut.

“Oh, Dani bikin Cang kaget saja, kayak yang eluh liat gimana?” katanya dengan dagu sedikit dinaikkan. Aku hanya tersenyum mengagumi sambil masuk ke dalam bajaj disusul juga Encang Abdul.

“Mau kemana eluh, Dan?” tanyanya sambil menyalakan mesin bajaj.

“Mau jalan-jalan aja sambil naik bajaj, enggak apa-apa kan, Cang?” tanyaku.

“Ya, enggak apa-apalah, gua ajak eluh ke suatu tempat deh mau kagak?” Tanyanya yang kubalas dengan anggukan kepala.

“Ke mana aja deh Cang.” Ujarku.

Encang Abdul menyetir bajajnya ke suatu tempat yang terlihat asing bagiku. Tetapi lama kelamaan aku sadar bahwa kami sedang berjalan menuju Monas. Aku menceritakan mimpiku kepada Encang Abdul.

“Jakarte itu udah penuh, Dan, orang-orang dari luar Jakarte ke sini buat cari pekerjaan, tapi orang Jakarte sendiri masih ada yang pengangguran, korupsi di mana-mana, apa lagi ini habis Pemilu tambah rame aja nih kota Jakarte.” Ujarnya menjelaskan.

“Dulu sebelum jadi Monas, sekitaran sini masih kebon, banyak anak kecil pada main di sini, dulu juga di sekitaran Tanah Abang tuh banyak sapi berkeliaran tapi kalau sekarang masih pada berkeliaran tambah macet dah nih kota.” Ucapnya lalu memberhentikan bajajnya lalu turun aku menyusulnya.

“Yok, makan kerak telur, dijamin eluh bakal suka dah, Bang kerak telurnya dua ye!” ujarnya ke arah abang tukang kerak telur. Lalu duduk di bangku pendek yang menghadap ke arah Monas, aku duduk di sampingnya dan memperhatikan Monas yang menjulang tinggi, pengunjung yang berduyun-duyun mendatangi Monumen ini, dan masih banyak aktivitas lainnya.

“Dulu nih ye waktu zaman Encang enggak ada tuh gadget yang bikin orang sibuk sendiri, semua orang saling tolong menolong kayak gotong royong bersihin selokan, bangun masjid, pokoknye banyak dah.” Ucapnya yang membuatku menganggukkan kepala. Aku selalu mengagumi Encang Abdul karena pengetahuannya tentang Betawi dan sekitar Jakarta sangat luas. Logat betawinya pun tidak pernah hilang.

“Mulai dari sekarang kite harus jaga kebersihan, biar yang ada di mimpi eluh itu enggak bakal terjadi, Encang yakin beberapa tahun yang akan datang semoga aja nih ye, siapa pun pemimpinnya apapun jabatannye bikin nih kota Jakarta makin terurus, Encang sih pernah lihat di Koran, beberapa tahun lagi yang kerja tuh robot bukan kite, kalau robot yang kerja kite masa tinggal malas-malasan, makanya Dani saran dari Encang sih belajar yang bener kayak si Doel di TV itu, siape tahu nanti eluh yang bakalan memimpin nih kota.” Ujarnya sambil menepuk pundakku.

“Amin, iya Cang.” Jawabku. Abang tukang kerak telor mengantarkan pesanan Encang Abdul.

“Nih di makan mumpung Encang baek nih.” Ujarnya yang membuat aku dan Encang tertawa.

 

* * * * *

Jakarta 17 Mei 2019

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.