Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

KuTunggu Kalian di Kalibata - Melisa Aprina

KuTunggu Kalian di Kalibata - Melisa Aprina

KuTunggu Kalian di Kalibata

Melisa Aprina

 


 “Kami siap!” Teriak kami lantang.

Hamparan ribuan jiwa terlentang. Terbiarkan saja tanpa rasa kasihan. Segelimpangan mayat berjatuhan dari atas gedung tinggi.

          “Kami bela negara, bukan membela diri. Kami rela mati untuk negeri ini.” Sumpah kami dikumandangkan. Jiwa patriot membuncah besar. Tidak sedikitpun jantung ini berdegup takut. Walau hati ini, tak luput dari rasa rindu keluarga.

          Kami maju dengan gagah. Membawa senjata yang seadanya. Bersama bambu runcing melawan serdadu. Geligi doa sanak famili tebarkan. Tidak jarang juga mereka mengantarkan bekal ke suami dan anak laki-laki tercinta. Kami berperang tanpa rundung dan risak.

“Cerita Kakek luar biasa.” Aku berbinar mendengar cerita Kakek yang dulunya veteran perang masa penjajahan Belanda.

         “Kakek saat itu masih berumur 13 tahun. Tapi Kakek, maju ke depan area pertempuran. Kakek bersama sembilan kawan Kakek tanpa rasa gentar maju. Kami adalah sahabat karib yang saling bersatu.” Lanjut Kakekku.

           Entah apa yang harus kuujarkan. Mulutku bungkam kehabisan kata-kata. Diumur 13 tahun, Kakek berperang melawan penjajah. Sedangkan aku, umurku akan 16 tahun ini. Bahkan melawan kebodohan pun tidak mampu.

          “Lalu, di mana Sembilan kawan Kakek?” Tanya heran. Aku juga harus bertemu sembilan pahlawan itu.

           Namun, wajah Kakek nampak murung. Ku rasa ada sesuatu yang buruk.

          “Apa Kakek baik-baik saja?” Tanyaku. Aku pun sigap beranjak ke dapur. Membawakan Kakek secangkir teh hangat untuk menenangkan pikiran.

          Kakek meminum teh dan melanjutkan cerita, “Kami memang sahabat yang selalu bersama. Kami sudah berteman sejak usia tiga tahun. Hingga kini, mereka yang sudah rata-rata 90 tahunan pergi meninggalkan Kakek sendirian.”

          Aku tergugu. Sembilan pahlawan hebat juga sudah tiada. Rasanya hati ini ikut berduka. Aku sudah menghentikan topik ini. Ku rasa Kakek akan semakin sedih jika aku bertanya.

          “Teman-teman Kakek tewas ketika kami perang di Jawa Timur, Kalibata. Kakek selamat karena saat itu, teman Kakek menolong Kakek yang hampir tertembak peluru.” Kakekku mulai berdenting air mata. Aku pun begitu. Rasanya luka sayatan di hati Kakek masih berbekas.

          “Kek, bolehkah aku ke makam teman Kakek?”

          Kakek mengangguk. “Akan Kakek tunjukkan padamu, arti pahlawan sesungguhnya.”

“Ini makam Sembilan teman Kakek.” Daerah itu sepi dan tidak terawat. Bahkan di kuburan tidak ada seorang pun yang datang membawa untaian bunga.

         “Kakek masih ingat di mana kawan Kakek dikebumikan.” Kakek membawaku berjalan mendekati tanah kuburan yang berjejer sejajar bersama patung-patung yang menghormat.

          “Sembilan kawan Kakek ada di sini. Kakek masih bisa merasakan hawa dan sapaan kawan Kakek di sini.”

           Aku merasa ini benar-benar miris. Kuburannya bahkan tak ada yang mengubris. Patung-patung nampak kusam dan sudah rapuh.

          “Tadinya di sini ada beberapa piagam penghargaan emas. Namun, pendatang tak bertanggung jawab datang dan menjualnya.” Ujar Kakek.

          Benar-benar keji hati.  Kenapa ada orang yang berniat menjualnya tanpa berpikir jasa pahlawan yang rela mati demi mereka.

           “Kami para pahlawan. Membutuhkan orang bertanggung jawab. Negeri ini harus ada orang yang bertanggung jawab.” Jelas Kakekku.

 

 

2

           “Cucuku, kau akan menjadi penerus warisan Indonesia. Wariskan budaya Indonesia kepada anak-cucumu. Tunjukkan pada dunia bahwa Indonesa bukan sembarang negara. Kita adalah negara terkaya akan alam, terkaya budaya, terkaya sosial, terkaya rempah-rempah, terkaya sumber daya. Jangan biarkan negara kita menjadi negara mereka.” Lanjut Kakekku.

          Kalimat itu benar-benar melekat pada jiwaku. Aku benar-benar mengingatnya.

Walau begitu, semua sudah direncanakan. Di usia 102 ini. Kakekku berhasil mewariskan sikap patriotisme pada ku. Beliau benar-benar pahlawan tercinta.

         “Ku tunggu kalian di Kalibata.”

Kakek meninggal. Aku menguburkannya di Kalibata. Walau karena itu banyak yang tidak datang saat pemakaman Kakekku. Namun, aku rasa Kalibata memang tempat terbaik untuk pahlawan.

           “Kakek, aku akan kembali ke sini. Dengan pangkat tentara. Aku akan jadi yang terbaik. Jangan tunggu aku di Kalibata. Tunggu aku di surga dengan tenang.”

Walau setiap hari aku datang untuk membersihkan semua daerah Kalibata. Aku benar-benar bertekad untuk Kakekku. Pahlawan negara, pahlawan yang telah menyelamatkan nyawaku dari kebakaran yang merenggut orang tuaku, pahlawan yang sudah menyelamatkan nyawaku dari kecelakaan. Usiamu sangat tua untuk menyelamatkanku, tapi cukup muda untuk berperang.

****

Dua tahun berlalu.

Aku lulus dari Sekolah Militer. Aku menjadi militer terbaik.

       “Kek, aku akan menjadi militer terbaik bagi Kakek dan bagi Indonesia.”

Saat itu militer dalam negeri tidak dibutuhkan. Namun, aku selalu berharap ada suatu hari dimana. Ambisiku bisa kubayar.

          Dan hari itu tiba juga.

          Kami para tentara militer diterbangkan ke negara yang berkonflik. Aku membawa nama Indonesia akan menyelamatkan semua orang di sana.

          Kami perwakilan Indonesai benar-benar hebat dalam mempertahankan kemerdekaan. Kami benar-benar menyelamatkan jutaan nyawa dari letupan bom, desingan peluru, dan penculikan anak.

          Tapi, ada sesuatu yang hampa saat aku kembali. Kenapa aku tidak sepuas Kakekku?

Mungkin karena aku berjuang untuk negara lain, bukan Indonesia. Aku benar-benar salah dalam ambisiku.

          Aku berjalan ke Kalibata dan berlutu di makan Kakekku. Gundukkan tanah itu sudah memerah.

         “Kek maafkan aku yang gagal dalam tugasku untuk Indonesia. Aku berjanji aku akan datang ke sini untuk terakhir kalinya. Aku akan mengajarkan pada anakku untuk mengabdi pada negeri ini.” Aku menitikkan air mata duka.

****

           “Lalu, apakah Kakek merasa kecewa?” Tanya cucuku. Di usiaku yang kini 98 tahun. Aku duduk sebagai Kakek. Mewariskan sifat Kakekku yang suka bercerita. Aku menyakininya bahwa Indonesia memiliki sejarah kemerdekaan yang hebat. Pahlawan kita tidak pernah bisa ditemukan di seluruh dunia.

           “Aku ingin jadi seperti Kakek. Membela negeri ini. aku cinta Indonesia.”

Aku benar-benar bangga dengan cucuku. Aku berharap, dia tidak salah tafsir lagi.

           Dan, di usiaku yang ke-99. Aku pergi menyusul Kakekku.

Aku berpesan, “Kuburkanlah Kakek di Kalibata. Kau boleh datang kapan saja karena Kakek akan menunggumu di Kalibata.”

            Saat itu cucuku datang, “Kek, jangan menunggu di Kalibata. Tunggulah di surga dengan tenang.”

            Walau sebenarnya, aku tak ingin menunggu di surga. Karena menunggu di Kalibata lebih ku suka.

 

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.