Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Misteri Cinta Alya - Joko Pinurbo

Misteri Cinta Alya - Joko Pinurbo

Misteri Cinta Alya
oleh Joko Pinurbo

#kawaca.com - Kesabaran adalah kunci. Kesabaran merupakan unsur penting bukan hanya dalam aktivitas menulis, melainkan juga dalam proses membaca. Bersandar pada kesabaran, saya dapat menemukan benang merah yang mempertautkan sajak-sajak dalam himpunan puisi ini. Benang merah itu berupa permenungan bahwa hidup tidak lain adalah serangkaian proses bersabar menghadapi hasrat akan keabadian dan kecamuk sepi akibat kesementaraan. Hal ini berlaku juga dalam sebuah dunia penuh misteri bernama cinta.
Kumpulan puisi ini merupakan semacam biografi pencarian cinta dari seseorang yang tak pernah kehilangan gairah cinta, meskipun cinta sering membawanya ke dalam ketidakpastian. Dengan gairah cinta yang tak pernah musnah, kekecewaan dan kegagalan disikapi sebagai bagian dari proses menemukan cinta yang mesti dilakoni, bukan sebagai alasan untuk “bunuh cinta”—alih-alih “bunuh diri”.  Cinta adalah kata kerja, bukan kata benda. Jika cinta adalah kata benda, niscaya tak ada satu orang pun di dunia ini yang sanggup berjudi dengan cinta.
Dalam sajak “Taman Terakhir” yang merupakan sajak kunci dalam buku ini, kita bertemu dengan seseorang yang mendambakan rumah pulang bagi perjalanan cintanya. Rumah cinta yang tersembunyi, nyaman dan aman, kedap dari hiruk-pikuk dan derita dunia. Dan rumah pulang atau taman terakhir yang dibayangkannya itu kira-kira serupa Taman Eden, taman pertama yang dikenal dalam kisah sejarah manusia.  Sajak tersebut adalah sajak yang cerdik justru karena tidak mendeskripsikan apa yang kemudian terjadi di taman terakhir yang dibayangkan sebagai Eden itu.
Kita sudah tahu bahwa Eden adalah taman sunyi dan suci yang menawarkan godaan. Ketika manusia memilih godaan ketimbang bersetia pada perintah menjaga kesucian dan kemurnian, kita tahu apa yang terjadi: sekaligus kutukan dan berkah. Kutukan karena dengan itu dalam diri manusia telah diterakan derita berupa dosa asal. Berkah karena dengan keberanian melampiaskan hasrat ingin tahunya manusia beroleh jalan bagi petualangan kreatif dan penjelajahan ilmu pengetahuan. Tidak ada cinta yang statis dan final. Jika cinta dihayati sebagai kata kerja, si pelaku cinta harus siap dan rela menerima dua hal sekaligus: berkah dan kutukan, bahagia dan derita, untung dan malang, manis dan getir, kenikmatan dan kekecewaan. Cinta bukanlah hidangan makanan yang siap saji. Cinta adalah seni mengolah dan memasak makanan.
Dalam buku puisi ini kita akan sering berjumpa dengan situasi cinta seperti yang tergambar dalam “Taman Terakhir”. Situasi di mana “aku benarbenar rindu”, “tapi kita tak pernah aman/dari sergapan cahaya/dan matamata mengancam”. Selain dari “sergapan cahaya” dan “matamata” yang barangkali bisa dimaknai sebagai gangguan eksternal terhadap privasi cinta, ancaman itu pun ironisnya sering muncul dari dalam cinta itu sendiri. Salah satu wujudnya adalah kenikmatan yang sementara (yang secara positif dapat dianggap sebagai kesementaraan yang nikmat). “Sudah berapa kesempatan/aku lewatkan untuk membawamu?”/kau berbisik tepat di telingaku//--dan ombak pun bergulung seperti menari/ membentuk sebuah nama dari buih-buihnya--//Aku terdiam di bibir pagi/ada harum kopi yang siap disesap/sebelum laut merebutku/sepi”(sajak “Setelah Malam Tadi”).
Mampuslah para pemburu dan pemabuk cinta jika cinta hadir sebagai rasa semata sebab yang akan didapat hanya kesementaraan demi kesementaraan. “Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar,” kata sebuah sajak Chairil Anwar. Untunglah cinta sering muncul dalam bentuknya yang ajaib, yaitu sebagai daya. Daya cintalah yang membuat rindu tetap menyala dan harapan tak pernah sirna. Uniknya, daya cinta ini kerap muncul melalui momen sederhana yang mampu mengatasi jarak dan waktu, misalnya lewat belaian secangkir kopi: “angin yang basah/malam yang temaram/lampu jalan menjelma kunangkunang/aroma tubuhmu mendadak/ semerbak dari secangkir kopi” (sajak “Adakah Isyarat Pertemuan?”). 
Dilarang bersedih dalam cinta. Ungkapan ini mungkin bisa menjadi peringatan dini bagi para pencari dan penikmat cinta. Dari mana kesedihan itu bermula? Dari sikap egoistis yang bersekutu dengan tuntutan akan keserbapastian. Biarkan cinta bekerja dan menemukan dirinya sendiri. Tugas pelaku cinta hanyalah menerima dan menikmati cinta yang ada. “Jika kau tanya, kapan aku dan kamu/menjadi kita, kujawab saja, entah” (sajak “Tentang Pertanyaan”).
Itulah beberapa simpul permenungan yang ditawarkan sajak-sajak Alya Salaisha-Sinta dalam himpunan puisi ini. Satu hal yang patut dicatat, sajak-sajak Alya menunjukkan hubungan yang intens antara si “aku” dan pengalaman-pengalaman hidupnya.  Pengalaman-pengalaman hidup itu dihayati dan direnungi dengan cinta, bukan dengan sesal dan benci. Dalam mengungkapkan tanggapannya terhadap berbagai pengalaman hidupnya, Alya banyak menggunakan majas personifikasi dan depersonifikasi yang di sana-sini memperlihatkan relasi yang intim antara manusia, alam, dan peristiwa. Sekadar contoh, personifikasi: “Daun yang menguning di ujung ranting itu/sesungguhnya tak sedang menangis//Walau sesekali air matanya jatuh ke daun-daun lain/Ia bahagia. Melantunkan doa/sebelum angin menerbangkannya menuju tanah” (sajak “Daun”). Depersonikasi: “wajahku berkabut menjelma pagi” (sajak “Adakah Isyarat Pertemuan?”).
Sesungguhnya saya tidak merasa telah benar-benar mampu menyelami misteri cinta yang tersembunyi dalam rimbun sajak-sajak Alya. Demikian pun saya tidak merasa telah benar-benar mampu menyelami misteri sajak-sajaknya. Sebagaimana cinta, puisi tetap saja meninggalkan misteri walaupun sudah berulang kali diselami. Biarlah masing-masing pembaca bergulat dengan misterinya sendiri. Dan biarlah saya menutup catatan singkat ini dengan mengutip utuh sajak Alya yang berjudul “Bibir (2)”.

ada sederet kata
lahir dari bibirku
lantas terbang ke langitlangit

“biarkan saja
dia hanya kata bisu
yang tak bisa berbahasa”

sebuah rahasia
masih terkunci disini
(aku menunjuk bibir yang
pernah kau kunci dengan telunjukmu)

“biarkan saja
biar kutelan rahasia
agar tak ada siapasiapa
bisa mengabarkannya”



Yogyakarta, 14 Februari 2017


Joko Pinurbo  lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962.  Alumni sekaligus dosen pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada IKIP Sanata Darma Yogyakarta. Jokpin -sapaan akrabnya- menghabiskan waktu 20 tahun hanya untuk mendalami puisi yang dibuat oleh para sastrawan terkenal Indonesia, baru kemudian belajar menulis puisi. 

Baca Juga:
Buku: Taman Terakhir karya Alya Salaisha
Puisi-Puisi Alya Salaisha
Menjadi Binatang Jalang atau Lonte Pemilik Modal - Dino Umahuk


Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.