Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Antara Di dalam Alarm Sunyi - Syaihun Nafahad

Antara Di dalam Alarm Sunyi - Syaihun Nafahad

oleh Syaihun Nafahad


Syaihun Nafahad - kawaca.com


“Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.”

Ir. Soekarno

Di dalam prolognya, Joko Pinurbo mengungkapkan, bahwa, “Alarm Sunyi” adalah diksi yang mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri karena terdiri atas dua kata yang berlawanan makna.

Dari sini, dimulai perjalanan “antara” dua kata yang berlawanan, seperti perbedaan-perbedaan yang kerap terjadi namun dengan kesadaran ilahiah, bahwa perbedaan adalah anugerah yang tak perlu direbutbenarkan lagi. Sebab, siang bergerak menuju malam dan sebaliknya, juga hidup menuju mati, dan sebaliknya, mati untuk hidup atau semisal ungkapan-ungkapan klise lain, seperti bertemu untuk berpisah atau berpisah untuk bertemu. Konsep perubahan pun terjadi. Dari segala aspek kehidupan yang terus bergerak bersama kehidupan masyarakat. Heraclitus mengatakan “Panta rei”, artinya tidak ada yang tidak berubah, semuanya mengalir, masyarakat sewaktu-waktu bergerak dan berubah. Padahal, sejatinya ruang-ruang itu tercipta sesuai dengan kegunaannya masing-masing.

Membaca “Alarm Sunyi” saya mengamini Epilog dari Arif Gumantia bahwa, Alarm Sunyi adalah samacam pemberitahuan dan peringatan. Sedang, sunyi adalah tidak adanya suara. Dengan hadirnya frasa Alarm Sunyi kita sudah disuguhkan sesuatu yang sublim, suatu “peringatan sunyi”, “pemberitahuan sunyi” atau kalau bisa juga sebuah “kabar sunyi”. Kemudian dari situasi seperti itu, lahirlah puisi-puisi dari Emi Suy. Seperti cerita di acara peluncuran bukunya: Suatu hari, di perjalanan untuk menjenguk orang tuanya di kampung, lalu lahirlah puisi ini:

HATIKU GERBONG

hatiku bergerbong-gerbong
mengangkut rindu yang menunggu lama

Penyairnya telah berhasil menangkap sesuatu di sekitarnya yang kemudian dielaborasi dengan perasaannya yang sedang menahan kekhawatiran, kerinduan kepada orang tua, maka jadilah /hatinya bergerbong-gerbong./

Di sini, akan didapati suatu imaji, suatu gambaran antara dua hal yang di luar dan di dalam diri bertemu menjadi frasa yang mendukung dalam keutuhan puisi dan kedekatan dengan tema. Barangkali ini pula, yang terjadi yang dirasakan ketika membaca frasa “Alarm Sunyi” yang menjadi judul buku puisi tersebut, yang baru dilahirkan setelah delapan tahun di rahim imaji, seperti yang pernah diungkap tempo hari oleh Emi Suy, perempuan yang pemilik buku puisi tersebut.

Antara alarm dan sunyi, yang kontradiksi itu, mampu melahirkan imaji yang subtil, dan tentu merupakan penyatuan dari dua ruang berbeda. Lalu jika ada pertanyaan, apakah yang menyatukam ruang-ruang berbeda itu hingga menjadi sesuatu yang puitis? Tentu semua ada karena “antara”.

Secara umum “antara”  memiliki makna jarak (ruang, jauh) di sela-sela dua benda: tiang yang satu dengan yang lain, waktu yang menyelang dua saat atau peristiwa; selang.

Antara menjadi penghubung, pengikat dari dua hal yang berbeda, dari peristiwa ke peristiwa lain, dari pertemuan menuju perpisahan, berpisah disatukan pertemuan yang kesemua itu berada di “antara” alarm dan sunyi yang berafiliasi menjadi media penampung, menjadi panggung,  dalam pesta perayaan rindu(nya). Simak saja salah satu puisinya:

YANG MAHA RINDU

bagaimana mungkin
jejak hujan mengering dalam ingatan
sementara kenangan menggenang
menelaga di kepala
memenuhi seluruh ruang
yang sejuknya sampai ke dada
batu-batu rindu menjadi bisu

aku telah menggali lubang
di tubuh sendiri
menanam harapan
agar tumbuh di segala musim
di luar hujan.

Pada puisi di atas,  alarm yang mempunyai arti pemberitahuan itu menunjukkan suatu kondisi hujan, sedang sunyi yang dirasa adalah kerinduan itu sendiri, sedang harapanlah yang menjadi “antara”. Dari perpaduan itulah puisi lahir setelah melalui proses, seperti kata Sofyan RH. Zaid; “puisi adalah hati yang berpikir”.

Segala sesuatu di dunia ini terjadi karena sebab-akibat. Namun, tahukah bahwa ada ruang kosong yang memperkuat suatu hubungan tersebut? Itulah posisi antara.

Senada dengan hadis bahwa, “Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan,” (HR. Ahmad). Secara tidak langsung memberi keharusan untuk memposisikan diri sebagai “antara”. Untuk menjaga keseimbangan dalam memandang setiap masalah, tidak tergiur dengan keramaian juga tidak terlalu larut dalam kesunyian.

Seperti peleburan kopi dan gula di segelas air panas, tentu yang menjadi “antara” adalah rasa saat menikmatinya. Meski kenyataannya menikmati kopi sangat lumrah dan siapa pun bisa, tapi pada penyair kopi akan menjadi hal yang istimewa bukan karena selera. Tapi, ada sisi lain yang tak terungkap bisa disajikan dalam bentuk puisi. Begitu pula cara menjadi antara untuk menikmati perpisahan dan kehilangan.

AKU CEMBURU PADA CANGKIR KOPI

selain meracik kopi
kita perlu tahu cara merayakan sepotong sepi
yang duduk diaduk dalan cangkir waktu
tempat bertemu bibir dan cangkir
resapi rasa dan aroma
jangan membisu
jangan biarkan rindu menjadi beku
seperti nasib secangkir kopi tidak terteguk
seiris brownis terabai tanpa senyum yang biasa
kau kirim padaku setiap malam
dalam remang bulan sendirian
seperti malam-malam sebelumnya
jejak ingatan tentang bekas kopimu
yang kusesapi dalam diam
aku cemburu pada cangkir ini
juga pada angin yang membuat hilang
kepulan aroma tentang kita

SUNYI MATI SENDIRI

hilang dalam rimba
setidaknya masih di langit yang sama
jejak tersapu debu dan daun-daun
kelak nisan adalah petunjuk terakhir
pertemuan kita
saat angin berubah arah
dan sunyi akhirnya mati sendiri

Dari dua puisi ini, Alarm Sunyi menjadi “antara” bahwa tak semua sunyi itu ngeri dan gemuruh itu riuh. Sebab, di tengah keduanya ada rahasia, sesuatu yang tak bisa diungkapkan selain dengan doa dan cinta. Demikianlah puisi bekerja dan menjadi penting adanya.

Bekasi, 2017

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.