Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Membaca Puisi “Tutup” karya Desmihalita sebagai Jalan Takdir - Indra Intisa

Membaca Puisi “Tutup” karya Desmihalita sebagai Jalan Takdir - Indra Intisa

oleh Indra Intisa

Pada hakikatnya, puisi lahir dari relung hati paling dalam. Ia tumbuh dari segala macam onak-duri, cumbu-rayu, mekar-kuncup bunga, jalan panjang, timpang-lurus, dst., yang merekat dalam lubuk hati manusia. Kemudian rasa tersebut menyebar ke seluruh tubuh, hidup dalam pikiran dan hati yang terpencar-pencar. Sebagian hilang dan lenyap ditelan waktu. Sebagian yang lain tetap tinggal dan tumbuh di hati mereka, membesar dan bahkan menjadi sugesti dalam setiap waktu. Sedang penyair mampu menumpahkan dalam wadah yang ia sebut puisi.

Dalam penuangannya, penyair kadang hidup dalam malu-malunya. Ia tuliskan puisi dalam banyak tabir yang menutup. Ia benar-benar tidak terbuka terhadap apa yang ia sampaikan. Sebagian yang lain hadir dengan kelantangan supaya sampai ke telinga pendengar. Barangkali ia ingin berkata, “Simaklah! Dengarkanlah! Supaya engkau tahu.” Dari pelbagai macam cara tersebut, lahirlah puisi dengan sebutan puisi gelap, prismatis dan diafan (telanjang).

Beberapa orang percaya bahwa puisi gelap itu buruk, terlalu sulit untuk ditangkap oleh indera dan pikir pembaca. Sebagian yang lain berkata itu bagus. Begitu pula dengan puisi diafan. Banyak orang berkata bahwa puisi diafan terlalu lugas dan jelas. Apa bedanya dengan prosa? Tidak ada unsur puitik, estetik mendalam, dst., yang membuat puisi jadi hidup dan memancar ke segala arah. Makanya puisi prismatis sering disebut sebagai puisi paling berhasil. Ia hidup dan tumbuh dengan pelbagai cara. Tetapi, sebenarnya puisi diafan bisa saja dianggap bagus, tentu menyesuaikan keadaanya, anggap saja gurindam, pantun, dst.

Desmihalita termasuk salah seorang penyair yang sering berkaya diam-diam. Secara khusus, ia tidak dingin disebut sebagai penyair. Barangkali terlihat pula dari beberapa puisinya yang ditulis secara tertutup—cenderung gelap. Penyair yang bekerja sebagai pengawas madrasah ini, tentu tidak lupa menyelipkan unsur-unsur perenungan terhadap hidup, agama dan kesenangan yang fana ini. Salah satu puisi yang ia tulis adalah sebagai berikut:

TUTUP

Bias silih berganti
Tetap antara dua
Bungkam …
Bisu datang
Memaknai takdir

Tirai demi tirai lalui
Silih datang dan pergi
Pandangan …
Sirna … hilang …
Bersama angin lalu

2017

Puisi di atas cenderung  gelap-prismatis-diafan (ketersangkaan bisa berkemungkinan dari tiga. Tergantung melihat dari sisi mana). Judul “tutup” seolah menyiratkan sesuatu yang sulit atau tidak bisa dibuka—diubah. Jika ditelisik, puisi ini barangkali merujuk kepada takdir, sebagaimana yang disampaikan pada larik terakhir bait pertama /memaknai takdir/. Apa itu takdir? Allah Swt., berfirman:

"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak pula pada diri kalian sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh al- Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah," (QS Al-Hadîd [57]: 22).

Oleh karena takdir, manusia bisa memaknainya bermacam-macam. Ada yang menerima tanpa berusaha. Ada yang merespon dengan negatif, “Allah telah menakdirkan kami menjadi miskin, buruk, salah. Bukankah itu adalah kehendak Allah? Kenapa kami yang dipersalahkan?” Tanya-tanya seperti itu—yang di dalam hati manusia—jika tidak awas bisa saja menyesatkan dirinya sendiri. Sesungguhnya, manusia hidup di dunia—lahir dan mati—sekalipun tidak diketahui rezeki, jalan hidup, dst., manusia tetap saja diminta untuk berusaha. 

Hakikatnya, tangan dan usaha manusia itu berperan sangat penting. Seperti halnya rezeki dan jodoh. Kenapa manusia dipinta untuk mencari rezeki yang halal, yang baik—bertanggung jawab terhadap anak-istri. Kemudian dalam mencari jodoh manusia juga disuruh untuk memilih jodoh yang sesuai dengan tuntunan Al-quran dan hadist. Jika begitu, ada hal-hal tertentu yang memerlukan peran manusia. Mari kita perhatikan beberapa ayat berikut ini:

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina”.  ( QS. Al Mu’min 40 : 60 )

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Qur’an Ar-Ra’d : 11)

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10)

Tetapi walaupun begitu, kesemuanya itu tetap saja tergantung kepada keputusan Allah. Takdir Allah adalah bagian dari rukun iman umat islam yang wajib dipercaya. Memang, takdir kadang mampu membuat manusia hidup dalam kegamangan. Bagaimana jika A menjadi B? B menjadi C? Jika dipikir-pikir—jika semuanya telah ditentukan—apa perlunya manusia berusaha? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang menjadikan manusia hidup dan terpuruk dalam kenegatifannya sendiri. Jangan pula beranggapan roda itu akan berputar: kadang di bawah dan kadang di atas—menunggu durian jatuh—menunggu keadaan yang tiba-tiba di atas—kecuali roda tersebut dikayuh, ditolak, baru kemudian bisa berputar dan bergerak sehingga posisi kita yang di bawah menjadi ke atas. Kita wajib percaya bahwa yang baik akan selalu dibalas baik. Apapun bentuknya. Allah berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah: 7-8)

Kembali pada puisi di atas, apakah sebuah ketidaktahuan manusia terhadap gaib menjadikan manusia selalu hampa dan bingung terhadap hidup? Sesuatu yang tidak diketahui simpangnya—terlihat biasa—apakah kanan tiba-tiba menjadi kiri, bahagia tiba-tiba menjadi duka, kesemunya membuat manusia bimbang akan hidup? Puisi di atas lahir dalam kegamangan—seolah menggantung akan pesan amanat yang ingin disampaikan. Seperti sebuah novel yang ditulis tidak dengan akhir yang bahagia, atau tokoh utamanya dibuat beruntung dan bahagia. Tetapi bukan. Aku lirik sengaja menulisnya menggantung. Bisa saja itu adalah pandangannya terhadap takdir—yang tidak diketahui baik-buruknya perubahan, dst. Tetapi, kita boleh saja berbaik-sangka dalam menyangka, puisi seperti itu ditulis untuk membuat pembacanya merenung hakikat sebuah takdir. Ia ingin mengajak pembaca untuk menjalani hidupnya sendiri—sesunggungnya hidup tergantung pada manusianya masing-masing. Kalau dalam sebuah fiksi mini, ceritanya menggantung—tergantung pembaca dalam menerjemahkan. Apa yang kau tangkap dari takdirmu sendiri?

Kalau kita mau melihat lebih dalam, perhatikan pesan menggantung—yang diserahkan kepada pembaca ini—pada larik-larik terakhir puisi ini:

Sirna … hilang …
Bersama angin lalu

Biarkan yang berlalu menjadi lalu. Yang buruk akan segera berlalu. Tidak perlu cemas. Karena kehidupan akan silih berganti. Jika lalu ada buruk, jadikan sebagai pembaik. Sesungguhnya musibah bisa saja bagian dari ujian terhadap manusia di muka bumi ini. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw., bersabda:

“Tidaklah seorang mukmin terkena duri dan lebih dari itu melainkan Allah akan mengangkat derajat dengannya. Atau dihapuskan kesalahannya dengannya.” HR. Bukhori, (5641) dan Muslim, (2573).

“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, hasan kata Syaikh Al Albani).

***
Pulau Punjung, 31 Maret 2017

Indra Intisa, Penikmat dan Pemerhati Puisi, Dharmasraya.








Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.