Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Mencari Jakarta yang Hilang - Arief Budiman

Mencari Jakarta yang Hilang - Arief Budiman

Mencari Jakarta yang Hilang 
oleh Arief Budiman
KAWACA.COM | Saya lahir di Jakarta, hampir lima puluh tahun yang lalu. Ketika saya masih anak-anak pada akhir tahun 1940-an dan permulaan tahun 1950-an, pusat perdagangan kota ada di Glodok, Pasar Baru dan Senen. Hotel Indonesia belum ada. Yang sekarang bernama Jalan Thamrin masih merupakan daerah perkampungan. Apalagi Jalan Rasuna Said atau Kuningan. Tugu Monas masih merupakan lapangan bola, dan di muka Museum masih berdiri Hopbiro Polisi. Di dekat Istana Negara, di mukanya, ada sebuah gedung bioskop yang disebut Deca Park, dengan tamannya yang teduh.

Di kompleks yang sekarang berdiri Taman Ismail Marzuki, bermukim Kebun Binatang yang rindang, serta dua buah gedung bioskop, Garden Hall dan Podium, di kelilingi restoran-restoran dengan halaman kebun yang luas. Jakarta pada waktu itu terasa lapang, lega dan luas, penuh dengan pohon-pohon besar. Gedung-gedung tinggi belum ada. Biasanya, setiap hari Minggu pagi saya naik sepeda dari rumah saya di daerah Sawah Besar pergi ke perpustakaan Museum Pusat, menyusuri jalan-jalan kecil, atau jalan rindang untuk becak dan sepeda di muka Gedung RRI di Jalan Merdeka Barat. Jakarta terasa mesra dan akrab. Pada permulaan tahun 19'90-an, saya meninggalkan Jakarta untuk melanjutkan studi saya di Amerika Serikat. Ketika itu, saya tidak sadar bahwa saat itulah saya berpisah dengan Jakarta, sampai sekarang. Karena, ketika pulang dari Amerika pada tahun 1980-an, ternyata saya memilih untuk tinggal di Salatiga.

Beberapa kali saya mencoba membayangkan, mengapa saya lebih memilih tinggal di kota kecil yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya seumur hidup saya. Kesan yang paling kuat adalah saya terkejut melihat perubahan yang terjadi di kota kelahiran saya ini. Tiba-tiba, Jakarta ditumbuhi oleh gedung-gedung tinggi yang membelantara. Di jalan raya, saya merasa sesak didesak oleh beribu mobil. Sementara iklan-iklan neon bergemerlapan menghiasi pijaran listrik yang membersit dari jendela-jendela gedung-gedung raksasa di sepanjang Jalan Thamrin. Jakarta jadi terasa komersial, tidak akrab seperti yang saya kenal dulu.

Seiring dengan perubahan phisik kota Jakarta, teman-teman saya diJakarta juga berubah. Pertama, secara meterial mereka jauh lebih maju. Temanteman yang dulu sudah sangat bangga karena bisa memiliki skuter Lambreta atau Vespa, sekarang mengendarai mobil sendiri. Teman-teman yang dulu makan di warung-warung di pinggir jalan dan minum teh poci atau air jeruk panas, sekarang lunch atau dinner di restoran-restoran mewah. Kalau malam mau ngobrol-ngobrol, mereka pergi ke pubs. Yang diobrolkan juga berbeda. Kalau dulu kita berbicara tentang apa yang terjadi di Yogyakarta, atau Bandung, sekarang mereka berbicara tentang kejadian-kejadian di Tokyo, Paris, Amsterdam, New York atau Sydney.

Kalau dulu kita berbicara tentang filsafat estetika dari Jacgues Maritain, atau konsep eksistensi dari Driyarkara, atau apakah bulan sama indahnya bila dipandang dari penjara, sekarang mereka berbicara tentang penurunan harga minyak dan dampaknya pada perekonomian dalam negeri, tentang target audience dan market segment yang mau dicapai oleh sebuah majalah atau produk iklan tertentu dan yang sejenisnya. Kalau dulu saya merasa kita ini benar-benar kampungan, sekarang mereka sudah internasional, global, mondial dan kosmopolitan. Jelas, semua ini adalah produk pembangunan pemerintahan Orde Baru yang dinyatakan sangat sukses oleh ekonom-ekonom dalam dan luar negeri. Memang ada cendekiawan-cendekiawan atau mahasiswa-mahasiswa yang memberi kritik terhadap kesuksesan ini. Tapi, mereka “kan dianggap sebagai orang yang frustrasi, yang cuma asal njeplak, yang hanya melihat yang negatip-negatip saja. Mungkin sudah waktunya mereka ini digebug.

Sekitar satu bulan yang lalu, saya kembali berada di Jakarta. Tiba-tiba timbul keinginan untuk jalanjalan di daerah Kebun Jeruk (Sawah Besar), tempat saya tumbuh dari bayi sampai berangkat besar. Saya naik kendaraan umum ke sana. Saya masuki lorong-lorong kumuh tempat saya bermain dulu, tempat saya mencuri mangga dan diuber oleh pemiliknya, tempat saya main bola di lapangan Taman Sari.

Semua memang masih ada, tapi hampir nyaris saya kenali. Rumah-rumah jadi semakin rapat. Jalan-jalan jadi semakin kecil. Lapangan bola yang dulu luas dikelilingi oleh jalan besar serta pohon-pohon tinggi yang rindang, sekarang digantikan oleh toko-toko dan rumah-rumah tinggal. Lapangan bola itu terasa kecil, dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi, seperti lapangan bola di sebuah penjara. Prinsen Park, tempat hiburan tempat saya dulu naik pagar untuk membolos nonton bioskop, sudah menjadi Taman Lokasari dengan toko-toko mewah berdinding batu porselin. Tiba-tiba saya merasa rindu kepada masa lalu saya.

Saya rindu kepada lapangan luas yang dikelilingi pohon-pohon tinggi yang rindang. Saya rindu kepada teman-teman saya berdiskusi di warung-warung pinggir jalan sambil makan singkong goreng. Saya rindu kepada naik sepeda tua di jalan yang sepi yang tidak ada gerbang tolnya. Apa yang sedang terjadi dengan diri saya? Sedang menjadi tua, sedang menentang Orde Baru, atau sedang mencoba mencari wajah manusia di tengah-tengah pembangunan material yang sukses. Saya tidak tahu. Yang saya tahu, saya sekarang bermukim di Salatiga, sebuah kota kecil dengan penduduk kurang dari seratus ribu jiwa. Salahkah pilihan saya? Saya tidak tahu.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.