Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Apakah Jakarta dan Betawi itu Hanya Peradaban tanpa Kebudayaan?

Apakah Jakarta dan Betawi itu Hanya Peradaban tanpa Kebudayaan?

Apakah Jakarta dan Betawi itu Hanya Peradaban tanpa Kebudayaan?

Sofyan RH. Zaid

Apakah Jakarta dan Betawi itu Hanya Peradaban tanpa Kebudayaan?



Saya datang terlambat, sebab satu dan lain hal. Untungnya acaranya juga terlambat untuk mulai. Jadi, rangkaian acara sebagian saya ikuti melalui data susunan acara yang dikirim panitia beberap jam sebelumnya. Acara Bedah Buku Antologi Puisi Penyair Nusantara Jakarta dan Betawi 3: Titimangsa Lahirnya Peradaban Bangsa, 12 Agustus 2022, 13.30-17.00 WIB, di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Gedung Panjang Lantai 4, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Acara ini terlaksana atas kerja sama antara Komunitas Literasi Betawi (KLB) dengan PERRUAS Indonesia, PDS. H.B. Jassin, Perpustakaan Jakarta, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi DKI Jakarta, Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Komite III DPD RI, TareBooks Gerbang Literasi Indonesia, dan Gerakan Kebangkitan (Gerbang) Betawi.

Setelah dipanggil oleh MC, Putri Thania, putri sulung Bang Asrizal Nur, acara bedah buku saya mulai dengan ngebut, sebab waktu yang sudah kurus.

“Mari kita buka bedah buku ini dengan semacam pantun,” saya bilang, “salah arah di jalan Kartini, masuknya ke jalan Perjuangan, mari mulai acara ini, dengan kebingungan.”

Kenapa kebingungan? Dalam filsafat, dengan kebingungan itulah kita bisa mendapatkan pengetahuan. Kebingungan yang biasanya dirumuskan dengan pertanyaan-pertanyaan awal, misalnya: 

Buku ini dari segi judul, sangat menarik, berkarakter sebagai sebuah judul buku antologi puisi bersama: Titimangsa Lahirnya Peradaban Bangsa. Wow! Minimal lebih menarik dari judul dua buku sebelumnya yang telah dibuat: Jakarta dan Betawi: Doeloe, Kini, dan Nanti (2019), dan Jakarta dan Betawi (2021) oleh Komunitas Literasi Betawi yang didirikan oleh Ibu Tuti Tarwiyah Adi bersama Pak Sam Mukhtar Chaniago, suaminya. 

Namun, ada kebingungan yang mengikuti judul tersebut, yaitu: Apabila kita ibaratkan sebagai manusia, peradaban itu tubuh atau fisik, sedang jiwanya adalah kebudayaan. Apakah panitia dan tim editor yang menyusun buku ini melihat Jakarta, misalnya, hanya sebatas fisik semata sejak awal? Tubuh tak jiwa yang berupa kebudayaan? Artinya pembangunan Jakarta hanya sebatas infrastruktur, bukan manusianya? 

Belum lagi jika kita merujuk pada Clash of Civilizations Samuel P. Huntington sebagai respons atas The End of History and the Last Man Francis Fukuyama: Mana yang lebih dulu ada antara peradaban dan kebudayaan dalam konteks sejarah untuk melihat Jakarta? Ah, itu hanya serangkaian pertanyaan kebingungan, dan masih banyak pertanyaan lain, mungkin juga yang ada di benak hadirian sekalian.

Oleh karenanya, untuk menyulap kebingungan-kebingunan tersebut menjadi pengetahuan, kita telah mengundang dua narasumber andal yang sangat familiar dengan persoalan sastra, filsafat, dan juga Jakarta dan Betawi:

Pertama, PROF. DR. H. AGUS SURADIKA. Lahir di Jakarta, 21 Agustus 1962. Pendidikan tingginya, S1 di FISIP Univ. Muhammadiyah Jakarta, S2 di IKIP Jakarta, dan S3 di Universitas Negeri Jakarta. Sebagai akademisi, kini sebagai dosen PNS dpk di FISIP-Universitas Muhammadiyah Jakarta. Beliau juga telah mengajar di banyak kampus ternama, mulai dari di Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Padang, Bali, dan lainnya. Selain sebagai akademisi, beliau juga pernah memangku jabatan penting di pemerintahan Dki Jakarta, seperti menjadi Wakil Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta (2011-2014), dan Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta (2014 sd 2015). Tulisan-tulisannya tersebar dii banyak media massa. Buku-bukunya telah banyak terbit dan beredar dengan bergama tema, dan yang terbaru adalah Filsafat Ilmu dan Metode Berfikir Transrasional (bersama Azhari Aziz Samudra), Penerbit Samudra Biru, 2022.

Fakta menarik tentang Prof Suradika, di antaranya:

1. Beliau termasuk sosok yang peduli, terutama pada lingkungan di mana beliau tinggal. Walaupunn beliau dikenal sebagai akademisi dan pejabat, tetapi beliau masih berkenan menjadi Ketua RT 005 RW 006 Kelurahan Petogogan, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sejak tahun 2006 sampai 2010. Luar biasa!

2. Beliau pernah menulis kajian, baik berupa penelitian atau tulisan umum, dengan tema yang unik, antara lain: “Hubungan antara Prestasi Belajar Mahasiswa dengan Status Pekerjaaannya” (1990); “Becak dan Senandung Lagu Dari Masa Ke Masa” yang dimuat Media Indonesia, 27 Januari 1990, serta “Profil Wanita Pekerja Malam dan Upaya Mengatasi Kemiskinan” yang dimuat Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Madani, Februari 2006.

Kedua, DR. SAIFUR ROHMAN, S.S, M.HUM., M.SI.. Sejauh penelusuran di internet, tidak diketahui, kapan dan di mana beliau lahir. Beliau merupakan doktor dari Ilmu Filsafat UGM, master dari Ilmu Budaya UI dan dari Ilmu Psikologi Unika Semarang, dan sarjana dari Ilmu Sastra Undip. Beliau juga pernah sebagai penerima Fellowship non-gelar bidang sastra dan filsafat di Timur Tengah (2003), Kuala Lumpur (2006), Singapura (2007), dan Beijing (2008). Kini sebagai dosen tetap bidang filsafat pada Program Doktor Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta. Selain itu, beliau mengajar di sejumlah program pascasarjana kampus di Indonesia, mulai dari Jakarta (IKJ), Pontianak, Semarang, dan lainnya. Tulisan-tulisannya menyebar di sejumlah media massa. Buku-bukunya seputar pendidikan, filsafat, karya sastra, dan kajian sastra telah banyak beredar di pasaran, seperti: Kritik Sastra Abad XXI (Ombak, 2014).

Fakta menarik tentang Dr. Saifur, antara lain:

1. Sebagai akademisi, beliau juga pernah menulis beberapa novel Tragedi Taruhan (Pena, 2001), Kawin Kontrak (Grasindo, 2006), Bibirmu Abadi (Pusat Bahasa, 2006), dan lainnya.

2. Selain akademisi dan prosais, beliau juga ternyata seorang redaktur dengan pernah menjadi Redaksi Harian Suara Merdeka (2003-2010), Pemimpin Redaksi Majalah Gema (2003-2008), dan lainnya.

Dalam paparannya, ada poin penting yang menjadi catatan para narasumber. Bagi Pak Suradika sebagai orang asshli Betawi adalah puisi-puisi dalam buku ini menarik sebab mengangkat banyak hal terkait Jakarta dan Betawi, mulai dari tempat bersejarah, narasi sejarah, kenangan tempo dulu, keistimewaan, dan sebagainya. Namun, menurutnya, tidak ada yang mengangkat soal ‘kegelisahan orang Betawi terkait Jakarta’. Kemudian beliau baca puisi perihal tema yang dimaksud. 

Sementara itu, menurut Pak Saifur Rohman, puisi-puisi dalam buku ini terkait titimangsa yang berarti masa, mempunyai muatan tiga masa, yakni prakolonial, kolonial, dan postkolonial dengan gaya masing-masing. Beliau sempat menyoroti salah satu puisi yang unik dalam buku ini, yakni judulnya panjang, isinya pendek. Judulnya terdiri dari tujuh baris, isinya cuma tujuh larik. Itu pun doa.

Saat sesi pertanyaan dibuka, Pak Nanang R Supriyatin yang lebih dulu bersuara dengan pernyataan bahwa jangankan bagi para penyair di luar Jakarta, dia sendiri saja sebagai orang Betawi kesulitan menggarap tema-tema tentang Jakarta dalam bentuk puisi. Kemudian, Mas Imam Ma’arif yang mengungkapkan bahwa para penyair itu sebenarnya ‘manusia urban’, maka puisi-puisinya pun menjadi urban, sukar untuk dipetakan lagi ketika bicara soal Jakarta dan Betawi. Sementara itu, Bang Remmy Novaris DM mempertanyakan soal absennya beberapa penyair asal Betawi di acara ini, yang harusnya ada dan terlibat.

Setelah semua paparan narasumber dan berbagai pernyataan peserta, saya paham perihal peradaban dalam konteks buku ini terkait Jakarta dan Betawi. Semoga nanti juga akan ada buku selanjutnya soal kebudayaan bangsa.

Apakah Jakarta dan Betawi itu Hanya Peradaban tanpa Kebudayaan?



Acara pun berakhir dengan penyerahan paket buku dari Pak Sam Mukhtar Chan kepada kedua narasumber yang dilanjutkan dengan foto bersama.

Selain datang terlambat, saya juga pulang terlambat, sebab satu dan hal lain juga.


Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.