Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Menghayati “Utopia” Naila Karima - Emi Suy

Menghayati “Utopia” Naila Karima - Emi Suy

Menghayati “Utopia” Naila Karima

Emi Suy



/1/

DALAM sebuah puisi hal yang mungkin paling penting selain bunyi adalah citraan. Chairil Anwar, pelopor puisi modern kita, pernah mengatakan dalam salah satu esai pendeknya yang berjudul "Membuat Sajak, Melihat Lukisan", tentang bagaimana menulis puisi. Baginya menulis puisi adalah melukis dengan kata-kata.

Puisi tak ubahnya sebuah lukisan yang memiliki musik ketika diucapkan. Barangkali itulah yang disebut sebagai kekuatan gaya bahasa, yaitu cara kita bermain, menempatkan pengalaman kita ke dalam kata-kata yang tersusun, yang kemudian menjadi karakter kita, atau menurut Octavio Paz sebagai ‘suara lain’ dari kepribadian kita.

Puisi tidak berangkat dari ruang kosong, ia adalah peristiwa yang diabstraksikan sedemikian rupa melalui penghayatan intens penyair, baik dengan benda-benda luar atau dalam dirinya, dalam bahasa yang ia kenali. Puisi adalah proses yang dirumuskan dalam konsep yang tersusun dari kata-kata puitik atau frasa-frasa yang mengandung kepekaan irama musik dan citraan. Itulah yang dinamakan permainan metafora/perbandingan-perbandingan untuk mengukur (secara intuitif), baik ‘gambaran’ atau ‘bunyi’ hasil dari mengamati, mengalami dan menghayati kehidupan konkret nyata melalui peristiwa-peristiwa yang utuh atau kilasan.

Di titik ini penyair yang sedang mulai melangkah di jalan puisi menuju satu dunia puisinya seringkali harus melewati dan mencari-cari bentuk, struktur, dan suara lain yang bisa dijadikannya sebagai karakter dalam pengucapan sajak-sajaknya. Namun, tidak sedikit dari mereka yang setelah sekian lama baru menemukannya, bisa jadi karena terlalu suntuk dengan ‘kekaburan’ yang dikejarnya terus, mungkin karena belum mengenal teknik mengabstraksikan dan mengonsep sebuah peristiwa ke dalam permainan perbandingan-perbandingan/metafora. Mungkin sekali penyair tersebut belum banyak membaca puisi-puisi dan upaya keras dari para penyair pendahulunya yang dianggap baik, dan kurang begitu mengikuti perkembangan sastra hingga yang kekinian, akhirnya ia kehilangan kepekaan atas gaya bahasa.

Kehilangan horison ‘gaya bahasa’ itu menyebabkan kita hilang arah. Padahal jika kita mengikuti sejarah perkembangan sastra khususnya puisi, dari apa yang bisa kita temukan dan miliki, boleh jadi kita akan bisa memakainya atau malah mengembangkan teknik-teknik baru dari puisi-puisi para penyair yang kita baca itu, dan menjadikannya sebagai tradisi kepenulisan kita sendiri. Maka dengan demikian kita menggunakan puisi-puisi penyair lain sebagai pembuka jalan bagi lahirnya sajak-sajak yang bernapaskan pribadi kita sendiri.

Baik penyair pemula maupun yang sudah kawakan, kadang masih kerap mengalami kesulitan memainkan metafora, alih-alih berupaya mencitrakan ulang peristiwa yang dialami atau tercerap dan mengonsepnya menjadi suatu pengucapan puitik yang ‘bunyi’, ia malah mengejar ‘kekaburan’ yang membuat bahasa tumpah sebagai hanya racauan kata-kata saja. Namun, ada hal yang membedakan darinya, yaitu penyair yang latihan tekun dengan benar, intens dan terus menerus pasti akan membuat kualitas racauannya berbeda sama sekali dengan yang tidak intens berlatih dengan benar dan terus menerus. Tentu ini hanya bisa dilihat dan diketahui oleh penyair yang sudah makan asam garam puisi.

/2/

Menulis puisi membutuhkan kesabaran luar biasa. Ia adalah napas panjang seorang penyair, yang kelak akan membawa nilainya sendiri sebagai suara yang didengar dan diterima. Memang jika kita melihat kehidupan para penyair dari puisi-puisinya nyaris tidak bisa diharapkan. Selain honornya di media kecil, buku puisi sendiri jarang sekali diminati dan dibeli.

Tentu sebuah pilihan berani jika seseorang masih bertahan menulis puisi dan tetap yakin, bahkan sampai menerbitkannya dalam sebuah buku. Apalagi dia adalah seorang perempuan, ini menjadi nilai tersendiri yang sangat perlu diapresiasi.

Sangat jarangnya penyair perempuan membuat dunia puisi kita memerlukan ‘suara lain’ lebih banyak lagi, tentu dari sudut pengalaman khas keperempuanan. Naila Karima, yang notabene masih mahasiswi di Universitas Negeri Malang ini, dengan buku kumpulan puisi tunggalnya berjudul “Utopia” hadir sebagai salah satu sosok penyair yang bisa diharapkan untuk terus berkarya menuliskan sajak-sajak yang khas menyuarakan pemikirannya.

Naila Karima dalam sajak-sajak di kumpulan ini banyak mengangkat tema sosial, cinta, maut, dan religiusitas. Ia berusaha mengucapkan pemikiran-pemikirannya seturut pengalaman yang dialaminya. Suara dalam sajak-sajaknya begitu khas. Dalam beberapa puisi muncul kosakata yang cukup asing dan jarang dipakai dalam dunia perpuisian kita, bahkan ada beberapa kosakata lama yang terkesan arkais coba dia bunyikan kembali.

Sebagai penyair muda, ia mungkin masih mencari bentuk-bentuknya sendiri, strukturnya sendiri, musiknya sendiri. Tapi dalam banyak sajaknya, kecenderungan Naila yang mengejar bunyi rima masih sangat kentara, sehingga ia tak tanggung-tanggung memilih kata yang bisa dibilang arkais tadi untuk dicampurkan dengan kata-kata kekinian agar bunyinya tetap berima. Di satu sisi itu bisa menjadi kekuatan tersendiri, tapi di sisi lainnya bisa menjadi lorong gelap atau jalan licin di mana kita akan terpeleset di sana. Namun, Naila Karima tetap berusaha memberikan ‘jalan lain’ agar kita tetap sampai pada penghayatannya, barangkali untuk saat ini ia telah menemukan ‘suara lain’nya sendiri.

Suara Naila Karima dalam kumpulan ini cukup unik, bahasa-bahasa lama yang dipakainya kembali memberikan ‘efek lain’ pada puisi-puisinya. Di samping itu, hadirnya kelisanan yang mengundang aneka bahasa keseharian memasuki bangun puisinya dan kegelisahannya sebagai perempuan yang menghadapi berbagai peristiwa juga turut mewarnai goresan khas nuansa puisi-puisinya. Tapi Naila bukanlah seorang pesimis, ia mengucapkan optimisme dalam puisinya, seperti tampak dalam potongan bait awal puisi berjudul Utopia.

 

Tetaplah hidup

dalam baris-baris yang dapat kurapikan

sedapatnya engkau kuberdirikan ketika roboh berantakan

dalam arsip

engkau buku dan aku pustakawan

 

Rasanya Naila adalah seorang pemeluk teguh, sehingga dalam keadaan goyah seperti apa pun ia tampak tegar dan tetap berdaya. Dan bayangan yang mungkin bagi kebanyakan orang itu terkesan khayal, bagi dia tidak sama sekali. Ia seakan melihat apa yang tidak dilihat oleh kita para awam, dan memang begitulah salah satu tanda bahwa ia seorang penyair, ia memiliki apa yang dinamakan ‘vision’.

Naila tidak hanya berbicara tentang apa yang jauh dibayangkan, ia juga membicarakan tentang hal-hal di sekitarnya; tentang kekasihnya, tentang penghayatannya pada tuhan, tentang sosial, tentang seni rupa, tentang perjalanan, tentang pengalaman keseharian, tentang keluarga. Tentang keluarga misalnya, ia berbicara tentang ibu, bapak, seperti kematian ibu pada puisi berjudul 2022 dan Bernama Ia-Mimpi. Pada contoh yang lain Naila dengan begitu hangat menggambarkan kedua orang tuanya, seperti dalam puisinya yang berjudul Kala.

 

Tiada lauk sahur dan berbuka yang tak sedap

senyampang napas ibu masih mendampingi menyantap

Tiada kolak takjil yang ditengguk tak mantap

selagi kabar kesahihan bapak sehat dan tegap

 

Naila rupanya suka bermain dengan kata-kata yang terbenam di dalam kamus, dengan ketelatenannya ia berupaya memunculkannya kembali, membunyikan ulang dan memberikan nilai baru kepada kata tersebut. Seperti pada judul puisinya Idiosi yang dalam kamus berarti ketololan atau kebodohan. Ia mencoba menafsirkan lagi ‘kata yang terbenam’ itu melalui parafrase dalam puisinya.

 

Sampai mati kugeledah makna

kepada engkau suratan

yang telah lama sorangan kau hentikan

mengistimewakan titik

merelakan koma

dan tanda baca berikutnya

 

Sampai ajal turun

kepada engkau lembaran

yang membenamkanku dengan kemubaziran

bersama ketakjuban

tiada lagi aku memeka yang hampa

 

/3/

Nampaknya Naila memang melakukan pencarian-pencarian sebelum menuliskan puisi-puisinya. Ia mengembara memasuki kamus-kamus yang mengubur bahasa lama, ia berusaha menggali-gali makna dan pengertian baru, ia berusaha menciptakan bayangan sekaligus peristiwa atas realitas yang bisa saling terhubung dan bertukar.

Barangkali itulah kelebihan Naila dalam kumpulannya ini, tentu sangat diharapkan kelak dia mampu membangun ‘jembatan’ yang lebih kokoh lagi di mana kita mampu melintasinya dan menyaksikan berbagai peristiwa di sekelilingnya dengan lebih luas dan leluasa.

Keterbatasan ruang untuk membicarakan puisi-puisi Naila Karima tidak memungkinkan berpanjang lebar di sini, dan sebagai pengantar rasanya tinggal pembaca sendiri yang kini harus melangkah melewati baris-baris yang dirapikannya, menemukan dan menyaksikan sendiri apa yang terjadi di kehidupan ini melalui perspektif dan daya cekau kata-katanya.

Naila Karima melalui puisi-puisinya dalam kumpulan “Utopia” telah mencoba ‘terlibat’ dalam ruang kehidupan yang lebih luas, tidak hanya personal tetapi kolektif, ia tidak membicarakan dirinya melulu, tetapi juga masalah sosial dan religiusitas. Di samping itu ia bermain kata-kata yang segar yang digalinya dari ‘kuburan kamus’ dan coba dihidupkan lagi dalam susunan bunyi puisi-puisinya. Ia juga memasukkan kelisanan yang dicomotnya dari omong langsung yang berlaku di komunitas masyarakatnya. Jika ia tekun menghayati dunia puisi, ia akan menemukan puncak barunya kelak. Ke depan penyair ini akan memasuki labirin-labirin baru dengan pesona puitik yang lebih menyihir LAGI.

 

April, 2022

 

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.