Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Fenomena Willy - Doddi Ahmad Fauji

Fenomena Willy - Doddi Ahmad Fauji

Fenomena Willy
oleh Doddi Ahmad Fauji

KAWACA.COM | Atas nama kemajuan peradaban literasi, ada beberapa sudut pandang yang perlu direnungkan, dilontarkan, baik bersifat afirmatif, evaluatif, maupun introspektif. 

Buku antologi puisi Willy Mencatat Demam -sebagai penyair muda usia-, bisa melibas para pesohor yang sudah memiliki jam terbang mendekati sakratul maut, adalah fenomena yang kontroversial. Buku Willy melebihi fenomenanya ‘Kuda Hitam’ dalam ajang sepakbola, yang memiliki pameo "bola bisa menggelinding ke manapun". Artinya, ada insiden yang di luar nalar. 

Akan tetapi, dalam dunia estetika, semua yang tak nalar, harus dicarikan argumentasi atau minimal 'kokologi pembenarannya'.

Dikatakan melebihi fenomena kuda hitam, karena peristiwa ini benar-benar menyodok aras ‘common sense’: Apa iya buku Afrizal Malna bisa kalah oleh buku Willy?

Untuk menjawabnya, saya ingin melihat dari faktor realita dewan juri. Dari tiga orang itu, dua Dewan Juri sudah melampaui usia 70, bahkan mau menyentuh angka 80. Usia yang sering ditilik dari dua dimensi yang berseberangan. 

Dimensi pertama, para pelanjut usia itu sering ditahbiskan sebagai insan kamil yang telah mencapai maqom makrifat, yaitu menelisik hakikat di balik hakikat sebuah soal. Bila ini yang benar, maka berarti selama ini, puisi-puisi yang diagung-agungkan oleh aneka festival dan media massa pemuat puisi, ternyata lebih tampak sebagai puisi profan yang kurang memberikan cercah aufklarung. Hanya wadag kata-kata yang bersembunyi di balik doktrin ‘l arte pour ‘l arte. Namun tak memberi efek domino bagi pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Para juri yang sudah sepuh itu, justru menemukan alam katarsis pada puisi pendatang baru.

Dimensi kedua, usia mendekati 80 tahun itu, di mana usia tidak bisa berbohong, adalah usia memasuki gerbang kepikunan. Jangan-jangan karena sudah pikun, para juri itu, sudah tidak bernas dan jernih lagi dalam menilai. Karena mereka senior, hukum feodalisme mengatakan seperti ini: 

Fasal 1: Senior tak pernah salah. Fasal 2: Bila senior salah, kembali ke fasal 1. Tardji  akhirnya menggunakan veto.

Selain catatan untuk juri, keputusan juri yang fenomenal dan kontroversial, setuju tak setuju, bahwa bangsa ini tidak memiliki teori ilmu modern yang asli dan asali. Semua ilmu modern, termasuk ilmu perpuisian dan filsafat, bahkan ajaran agama, adalah hasil impor dari seberang. Kita menilai diri sendiri, dengan menggunakan kacamata orang lain. Maka selain memberikan catatan pertanggungjawaban, semestinya juri memberikan analisis yang akurat, dan bila mungkin, pisau untuk menganalisisnya itu, dibakukan dan dibukukan, sehingga secara pelan-pelan, kita menciptakan kaidah dan rumus sendiri, agar lebih jauhnya lagi, bangsa ini bisa membuat mesin sendiri, komputer sendiri, juga handphone sendiri. Jelas karena honor yang tidak memadai, kehendak yang ideal menurut saya itu, sulit untuk diwujudkan, seperti sulitnya mencari ketiak ular. Jika pun dibuat analisis, sifatnya akan asal-asalan.

Di sisi lain, Willy adalah pribadi yang sabar, tidak mudah mutung, dan gemar semadi. Ruangannya yang bekas toilet di sekber Asas, disulap jadi rak buku, dan di salah satu dindingnya ada tulisan kurleb berbunyi: "RUANG SEMADI SANG NABI."

KeMenangan Willy adalah buah dari ketabahan yang berlarat-larat.

Di atas semua itu, maka akan sangat bijak bila hadiah yang diterima oleh Willy, sekitar Rp 50 juta, digunakan untuk sekolah filsafat. Adapun filsafat tertinggi itu, ialah batu nisan dan kuburan. Sering-seringlah ziarah ke makam para wali, hey Willy.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.